Wayang Golek di Era Digital: Tradisi Sunda yang Terus Hidup

Notification

×

Iklan

buku

Iklan

buku

Wayang Golek di Era Digital: Tradisi Sunda yang Terus Hidup

Rabu, 16 April 2025 | 12:05 WIB Last Updated 2025-04-16T05:07:08Z

 





NUBANDUNG.ID -- Di tengah hiruk-pikuk budaya populer yang serba instan, Wayang Golek tetap berdiri tegak sebagai salah satu penanda identitas masyarakat Sunda.


Kesenian tradisional ini bukan sekadar tontonan boneka kayu yang dipentaskan di atas panggung. Lebih dari itu, Wayang Golek adalah sebuah ruang untuk mendongeng, mengkritik, menghibur, sekaligus merefleksikan nilai-nilai hidup. Ia menyuarakan kebijaksanaan lama dalam balutan hiburan yang hidup, lincah, dan penuh warna.


Dilansir dari laman Kota Bandung, berbeda dengan teater boneka anak-anak pada umumnya, Wayang Golek menyuguhkan pertunjukan dengan kompleksitas tinggi. Dikutip dari berbagai sumber terpercaya, dalam satu pertunjukan wayang golek terdapat berbagai peran yang dimainkan. Dalang, sebagai pusat dari keseluruhan pertunjukan, memainkan puluhan karakter dengan suara berbeda, menyanyikan tembang, serta mengatur irama gamelan yang mengiringi cerita. Kisah-kisahnya pun tidak main-main, umumnya diangkat dari epos besar seperti Ramayana dan Mahabharata, yang kemudian ditafsirkan ulang dalam konteks lokal masyarakat Sunda.


Namun Wayang Golek bukan semata soal kisah heroik atau humor ala Cepot. Ia adalah jendela nilai—tentang benar dan salah, tentang budi pekerti dan kebijaksanaan. Tidak heran jika pertunjukan ini kerap dipilih untuk mengiringi momen-momen penting dalam masyarakat, seperti pernikahan, khitanan, atau bahkan syukuran panen. Melalui lakon-lakon yang ditampilkan, Wayang Golek menjadi media edukasi yang menyenangkan sekaligus mendalam, terutama untuk anak-anak.


Dalang legendaris seperti Asep Sunandar Sunarya adalah bukti betapa besar pengaruh sosok di balik layar dalam menjaga api kesenian ini tetap menyala. Lewat inovasi-inovasinya, Asep mampu menjembatani generasi tua dan muda dalam satu panggung yang sama. Gaya bicara khasnya, improvisasi humornya, serta kelihaiannya mengolah emosi dalam lakon, menjadikan Wayang Golek sebagai seni yang bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga masa kini.


Perlu juga disorot peran sinden—sosok perempuan penyanyi dalam pertunjukan Wayang Golek. Suara mereka bukan hanya pelengkap, tetapi bagian penting dalam menghidupkan suasana. Tak jarang, sinden juga menyisipkan kritik sosial lewat pantun atau gurauan, menciptakan ruang dialog antara panggung dan penonton.


Seiring berjalannya waktu, Wayang Golek tak tinggal diam di bawah bayang-bayang masa lalu. Karakter seperti Cepot kini hadir dalam berbagai format digital, termasuk animasi dan meme di media sosial. Bahkan, beberapa kreator muda mulai mengembangkan versi komik dan gim dari lakon-lakon wayang, menjadikannya lebih mudah diakses generasi Z dan Alpha yang akrab dengan dunia layar sentuh.


Adaptasi ini bukan hanya bentuk promosi, tapi juga strategi pelestarian. UNESCO sendiri telah menetapkan wayang (termasuk Wayang Golek) sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 2003. Penetapan ini menjadi pengakuan atas kekayaan intelektual budaya Indonesia yang sudah sepatutnya dijaga, dikembangkan, dan diwariskan.


Bandung sebagai kota kreatif tentu punya peran besar dalam menjaga nyala Wayang Golek. Dengan berbagai ruang seni dan komunitas budaya yang tumbuh di kota ini, pertunjukan wayang bisa kembali hadir dalam format yang lebih inklusif—baik di ruang terbuka, sekolah, hingga galeri. Sudah saatnya generasi muda Bandung tidak hanya tahu siapa itu Cepot, tapi juga memahami pesan-pesan bijak di baliknya.


Wayang Golek adalah saksi zaman, dari masa kerajaan hingga era digital. Ia bukan hanya soal kayu yang diukir, tetapi jiwa yang dihidupkan. Sebuah bentuk seni yang terus bergerak—menyesuaikan diri, tanpa kehilangan akar.