Pengalaman Bimbingan Mahasiswa

Notification

×

Iklan

buku

Iklan

buku

Pengalaman Bimbingan Mahasiswa

Minggu, 13 April 2025 | 12:28 WIB Last Updated 2025-04-14T03:28:07Z

 




NUBANDUNG.ID -- Soal ilmu, saya tuh tak suka formalitas. Demikian pun dalam bimbingan mahasiswa. Saya senang kalau ada mahasiswa mau bimbingan apalagi dia memang punya masalah yang ingin dikonsultasikan. Apakah soal topik penelitian, judul, metodologi, sumber dll, selama itu studi keislaman, humaniora dan ilmu-ilmu sosial.


Sering kalau bimbingan, saya bukan hanya  menjawab pertanyaan² tapi memecahkan masalah² mereka bahkan memberikan ide-ide. Sering terlibat dalam topik penelitian mahasiswa seolah itu penelitian saya juga. Akhirnya, mahasiswa banyak yang suka karena saya justru "terlibat" lebih dalam.


Soal tak formalistis itu, di kelas saya sering mengajak, ayo siapa saja yang mau bimbingan dengan saya, boleh tinggal janjian. Dosen pembimbing formalnya terserah, dengan saya mah ngobrol saja.


Di kampus, saya sering bertanya pada mahasiswa fakultas dan jurusan apa saja, yang semester akhir yang masih bingung cari topik penelitian. Dari ngobrol akhirnya mahasiswa ingin berlanjut. "Boleh," kata saya. Saya merasa tipe provokator ide-ide, senang memberikan pikiran-pikiran pada mahasiswa. Saya sering lebih bersemangat menjelaskan topik penelitian yang sedang diteliti mahasiswa ketimbang mahasiswanya sendiri. Bimbingan pun jadi semangat sambil ngobrol dan bercanda, sersan (serius tapi santai).


Rupanya, karakter saya disebarkan. Pernah ada mahasiswa mau bimbingan, begitu datang 9 orang 😯 dan ternyata bukan mahasiswa bimbingan saya semua. Setengahnya, bimbingan dosen lain. "Iya Pak, ini temen² pengen bimbingan sama bapak minta masukan², dosen pembimbingnya susah dihubungi dan gak ngasih arahan-arahan gitu Paak ..." Saya terima. Saya punya prinsip, yang namanya ilmu "ayo, apa yang bisa saya bantu," dan mereka pada seneng. Bahkan, pernah saya posting di FB, ada yang nginbox, minta bimbingan dari Aceh dan Makassar. Walaah...


Yang menarik, jauh sebelum musim Covid-19, saya pernah ngobrol dengan tiga orang mahasiswa semester akhir Fakultas Ushuluddin, jurusan Tasawuf dan Psikoterapi UIN Bandung, dua perempuan, satu laki. Biasa, saya ngasih ide-ide dan mereka tertarik. Setelah ngobrol agak lama, janjian pengen ketemu lagi.


Lucunya, tiga mahasiswa itu saat datang ke ruang dosen Fak. Ushuluddin dan bertanya pada dosen² yang ada disitu: 

"Pak maaf, saya mau ketemu Pak Moeflich." Saya memang sering nangkring, ngopi dan ngobrol di ruang dosen Fak. Ushuluddin saat MMR (Majelis Malam Reboan) masih aktif. 

"Pak Moeflich mana?" tanya salah seorang dosen.

"Iya Pak Moeflich yang suka ada disini."

"Mau apa?"

"Mau bimbingan skripsi."

"Bimbingan skripsi?" Si dosen bingung. "Pak Moeflich mah dosen Fakultas Adab, bukan Ushuluddin. Kenapa kamu bimbingan sama Pak Moeflich?"

"Ooh gak tahu, yaa.. pernah ngobrol di depan sini, terus kita janjian mau lanjut bimbingan lagi 😁.


Saya dihubungi dosen Ushuluddin yang teman² akrab itu sambil kaget: "Moef, naha aya mahasiswa Ushuluddin rek bimbingan ka ente? Dijampean naon ku ente?" 😁

"Nya teuing, berarti saya teh berpengaruh kitu weh haha ... Iya memang ada yg pernah ngobrol disitu dan ingin ketemu lagi." Saya tanya balik, "kanapa kayak kaget?" "Nu hijina geulis euy haha ..." katanya 😁. "Ooh hehe ..." Saya jadi dosen pembimbing bayangan mereka dan singkat cerita mereka pun pada lulus.***


Moeflich Hasbullah Hart, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung