NUBANDUNG.ID -- Di rahim sawah yang luas, padi bermula sebagai isyarat sunyi, bahwa hidup bukan sekadar lahir dan mati, melainkan sebuah perjalanan menanam harap di ladang waktu. Dalam tiap butir benih yang ditanam, manusia menitipkan keyakinan kepada tanah, kepada hujan, kepada matahari, kepada sesuatu yang lebih besar melampaui dirinya sendiri.
Saya kira, sawah adalah kitab tua yang tak pernah selesai dibaca. Di atas permukaannya yang berkilau, angin membisikkan rahasia asal-usul manusia. Bahwa segala kehidupan tumbuh dari ketiadaan, dari kerendahan, dan dari kerelaan menunggu. Padi mengajarkan, "tumbuhlah dengan diam. Matanglah dengan tenang. Saat waktunya tiba rebahlah dengan ikhlas".
Tanpa sawah, tanpa padi, mungkin manusia tak pernah mengenal makna syukur yang sebenarnya. Dari hamparan hijau, lahir peradaban, cerita, dan mimpi-mimpi tentang esok. Sebagaimana padi tumbuh dalam bisu, manusia pun belajar bahwa kematangan sejati tidak perlu gegap-gempita, hanya perlu setia pada musim dan pada waktu.
Padi dan sawah bukan sekadar sumber pangan. Mereka adalah bahasa bumi yang menyampaikan pesan kepada manusia, bahwa dalam keterbatasan, dalam kesabaran, kehidupan menemukan bentuknya yang paling murni.
Saya meyakini, di setiap butir padi, mengalir jejak para leluhur. Di setiap petak sawah, terpatri ingatan purba tentang kesatuan manusia sebagai mikro kosmos dan alam sebagai makro kosmos. Maka, ketika kita menundukkan kepala di hadapan padi, sesungguhnya kita sedang memberi hormat kepada asal-usul kita sendiri, kepada makhluk agung pertama yang memperkenalkan kita pada makna hidup.
Dan mungkin saja, di akhir perjalanan, kita semua hanya ingin menjadi seperti padi, penuh, tenang, dan tunduk. Tabik.[]
Radea Juli A Hambali Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.