“Mungkin engkau sedang mencari sesuatu di antara cabang-ranting, untuk hal yang hanya ditemukan di dalam akar.”
NUBANDUNG.ID -- Bagi saya, kalimat Rumi di atas laksana panggilan. Panggilan yang lembut tapi dalam. Ia seperti mengetuk kita yang mungkin diam-diam lelah —lelah mencari arah di tengah riuhnya dunia. Lelah berharap pada yang gemerlap tapi semakin menjauhkan dan membuat rapuh.
Kalimat Rumi itu bisa juga dibaca sebagai nasihat, tapi melampaui sekadar nasihat —ia seperti cermin yang membalikkan arah pencarian manusia. Ia seperti mengingatkan kita untuk rehat sejenak dari kesibukan menjangkau yang jauh. Yang tinggi. Yang bercabang-cabang, lalu mengajak kita untuk kembali menengok ke dalam. Pada sesuatu yang tersembunyi. Pada asal yang sunyi.
Kita hidup di zaman ketika segala hal diasah untuk tampak. Keberhasilan mesti dilihat. Kebahagiaan harus difoto. Kebenaran harus viral. Kita membaca banyak buku, menggali teori, mengejar gelar dan pengaruh, berharap menemukan inti dari diri dan dunia. Lalu kita menduga bahwa makna yang dicari terletak di antara yang bersinar itu. Tapi bagaimana kalau semua itu hanya ranting —tempat burung singgah sebentar. Bukan tempat akar menancap dan memberi hidup.
Di syair yang lain, Rumi menyindir kita dengan syahdu, “Mengapa engkau tinggal di penjara, padahal pintu terbuka?” Kita sering memenjarakan diri dalam keinginan-keinginan palsu, banal dan dalam definisi tentang diri yang dibentuk oleh orang lain, dalam kerumitan pikiran yang kita kira sebagai kedalaman. Sebagai inti. Kita lupa bahwa pintu telah terbuka sejak lama, dan akar telah menunjukkan arah: masuk ke dalam.
Di kesempatan yang lain, Rumi pun pernah mengatakan, “Jangan puas dengan cerita, bagaimana keadaan orang lain. Bukalah mitosmu sendiri.” Maka janganlah hanya berdiri di antara cabang, mencuri daun dari pohon-pohon lain. Menurut Rumi, sungguh masing-masing kita punya akar sendiri. Punya tanah tempat jiwa tumbuh—dan kita tak bisa menukar akar dengan siapa pun. Kebenaran sejati tidak diwariskan, ia ditemukan. Tidak dikisahkan, tapi dialami.
Pencarian sejati, kata Rumi, bukan tentang berjalan ke luar, tapi kembali kepada diri. Bukan berarti ego, tapi kembali pada ruh yang tak bisa dilukis dengan kata. “Engkau bukan setetes air di lautan,” katanya, “engkau adalah lautan dalam setetes air.” Maka jika masih mencari di ranting dan cabang, barangkali karena kita takut akan kedalaman. Tapi justru di kedalaman itulah, hidup benar-benar dimulai. Allahu a’lam.
Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung