NUBANDUNG.ID --Sesuai pengalaman yang terus berulang, mudik ternyata bukan sekadar perjalanan pulang ke kampung halaman, tetapi juga bisa menjadi kesempatan berharga untuk memahami berbagai hal di sekitar kita.
Hadis Nabi SAW
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi." (HR. Bukhari dan Muslim). Silaturahmi Idul Fitri adalah waktu yang penuh keberkahan untuk meminta dan memberi maaf. Tradisi "halal bihalal" saling memaafkan dan menghapus kesalahan masa lalu.
Menyimak Percakapan
Saat mudik, kita bertemu dengan berbagai orang, keluarga, teman lama, atau bahkan orang asing di perjalanan. Ini menjadi momen untuk menyimak cerita mereka, memahami pengalaman hidup mereka, dan mungkin mendapatkan perspektif baru tentang kehidupan.
Mendengar dengan Empati
Dalam suasana kebersamaan Idul Fitri, mendengar dengan empati menjadi kunci untuk memahami perasaan orang lain. Momen saling bermaafan, berbagi cerita, dan mengenang masa lalu bisa menjadi pelajaran berharga dalam membangun hubungan yang lebih erat.
Mentafakuri Lingkungan Sekitar
Perjalanan mudik sering kali membuka mata terhadap perubahan yang terjadi, baik di kampung halaman maupun di kota-kota yang dilewati. Memperhatikan kondisi jalan, perkembangan desa, atau bahkan kebiasaan orang-orang bisa menjadi refleksi tentang bagaimana waktu mengubah banyak hal.
Memahami Makna Kebersamaan
Lebaran adalah tentang kembali ke keluarga dan mempererat silaturahmi. Dengan memperhatikan interaksi dan kebiasaan keluarga, kerabat, tetangga, teman kita bisa lebih memahami arti kebersamaan, nilai-nilai tradisi, serta pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama.
Mudik bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitar.
S. Miharja, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung