NUBANDUNG.ID -- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah berhasil mengakui layanan pendidikan berbasis pondok pesantren, namun masih belum mendorong afirmasi anggaran yang adil. Hal ini disampaikan oleh Dr. Suwendi, M.Ag, dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, dalam acara “Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren” yang diselenggarakan oleh Badan Keahlian Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI, di Tangerang Selatan, Jumat (21/3/2025).
Acara ini dihadiri oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang DPR RI, Novianto Murti Hantoro, serta tim penulis buku Evaluasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 DPR RI.
Menurut Suwendi, Undang-Undang ini telah mengakui layanan pendidikan pesantren melalui Pendidikan Diniyah Formal (PDF), Satuan Pendidikan Mu’adalah (SPM), dan Ma’had Aly (MA) sebagai satuan pendidikan formal dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, yang berpotensi meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan. “Layanan pendidikan pesantren seperti PDF, SPM, dan Ma’had Aly secara yuridis memiliki status yang setara dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan perguruan tinggi. Pendidikan pesantren ini adalah pendidikan Islam yang tulen, yang telah ada jauh sebelum sekolah-sekolah modern,” ungkap Suwendi.
Menurutnya, PDF, SPM, dan Ma’had Aly berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan sekolah dan perguruan tinggi lainnya, baik dari segi finansial maupun hak-hak lulusannya. “Jika sekolah mendapatkan dana BOS, tunjangan profesi, serta BOPTN dan Bidik Misi bagi perguruan tinggi, maka PDF, SPM, dan Ma’had Aly juga berhak mendapatkan anggaran yang serupa,” jelas Suwendi.
Lulusan pendidikan pesantren melalui PDF, SPM, dan Ma’had Aly juga seharusnya memiliki peluang yang sama untuk melanjutkan pendidikan atau mengakses dunia kerja. Suwendi menjelaskan bahwa sistem pendidikan nasional kita mengadopsi kebijakan multi-entry multi-exit, yang berarti semua anak bangsa, baik yang bersekolah di jalur formal, nonformal, maupun homeschooling, berhak melanjutkan pendidikan sesuai peraturan yang berlaku.
Namun, kenyataannya di lapangan, meskipun ada Undang-Undang Pesantren, lulusan PDF dan SPM masih belum diperlakukan setara dengan lulusan sekolah umum. “Saat ini, perguruan tinggi keagamaan Islam lebih menerima lulusan PDF dan SPM, sementara perguruan tinggi lainnya belum sepenuhnya memahami pendidikan pesantren ini,” ujar Suwendi.
Dalam hal anggaran, meskipun Undang-Undang Pesantren telah ada, kontribusinya terhadap peningkatan anggaran untuk pesantren masih sangat terbatas. “Kementerian Agama, yang memiliki anggaran terbatas, bertanggung jawab atas fungsi agama dan pendidikan agama. Alokasi anggaran pendidikan nasional mencapai 660 triliun, sebagian besar digunakan untuk sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah. Alokasi anggaran untuk pesantren di Kemenag hanya kurang dari 1 triliun, yang artinya hanya 1/660 triliun dari total anggaran pendidikan,” ungkapnya.
Minimnya dukungan dari Pemerintah Daerah (Pemda) juga menjadi masalah. Suwendi menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022, yang membatasi Pemda untuk memberikan dukungan pendanaan kepada pesantren selama standar pendidikan minimal di sekolah (seperti TK, SD, SMP, SMA, SMK) belum terpenuhi, menjadi salah satu penyebabnya. “Karena hampir semua Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia belum memenuhi standar pendidikan minimal ini, pesantren tidak mendapat dukungan anggaran dari Pemda,” ujar Suwendi. Ia pun menilai bahwa Pasal 81 ayat (3) pada PP 18 Tahun 2022 perlu dicabut.
Selain itu, Pemda hanya bisa memberikan dukungan kepada pesantren melalui dana hibah yang sangat terbatas. “Alokasi hibah di APBD sangat minim, dan bahkan tidak semua pesantren bisa mendapatkan hibah setiap tahun. Hibah ini harus bergantian dengan pesantren lainnya,” tambah Suwendi.