Kebenaran Dogma, Rasional, Agama dan Sains

Notification

×

Iklan

Iklan

Kebenaran Dogma, Rasional, Agama dan Sains

Jumat, 07 Februari 2025 | 13:49 WIB Last Updated 2025-02-07T06:49:06Z

 


NUBANDUNG.ID -- Apa bedanya kebenaran melalui sains dengan kebenaran melalui agama? Misalnya kebenaran banjir besar Nabi Nuh, ditenggelamkannya Fir'aun di laut, tak mempannya Nabi Ibrahim AS dibakar api besar atau peristiwa Isra Mi'raj.


Melalui sains, kita harus mencarinya dulu, harus penelitian atau riset puluhan tahun dulu, menghabiskan dana besar dulu, harus mendiskusikan dan memperdebatkannya dulu, ujung-ujungnya orang bisa percaya bisa tidak.


Lewat agama cukup iman, percaya mutlak, mau mencari kebenarannya atau tidak, mau diteliti atau tidak, mendiskusikan dan memperdebatkan atau tidak. Terserah. Juga sama, ujungnya, orang mau percaya tanya tidak.


Melalui sains, kebenaran masih dicari-cari bahkan hingga sekarang dan entah sampai kapan, sampai mati akan menemukan atau tidak. Kelebihan melalui agama, kebeneran sudah didapatkan sejak dulu, gak capek-capek, melalui kabar seorang yang sangat terpercaya, tak pernah berdusta seumur hidupnya, gelarnya Al-Amin (orang sangat terpercaya). Ilmu pengetahuan dan orang modern menyebutnya itu "dogma" dengan kesan rendah atau buruk. Orang beriman menjawabnya: "Terserah," "peduli amat," "bebas mau disebut dogma, cilok atau seblak." "Soal istilah, emangnya gue pikirin." Itulah pendeitas (kepercayaan diri) orang yang beriman. 


Hisab di akhirat kelak, tidak akan ditanya: "Apakah kebenaran agama-Ku sudah kamu buktikan melalui penelitian dan riset-risetmu? Mengapa kamu percaya begitu saja?" Pasti tidak. Tapi, "apakah kamu beriman kepada kepada-Ku, pada kebenaran yang disampaikan para nabi utusan-Ku sejak berita dan ajaran itu sampai kepadamu? Apakah alasannya kamu tidak mau beriman padahal nabi-nabi-Ku itu terpercaya, sudah menunjukkan bukti-bukti kenabian mereka bahkan sudah Ku-turunkan mukjizat yang banyak yang diluar akal pikiranmu?"


Tapi, apakah memang kebenaran agama harus dibuktikan secara ilmiah? Ini ada tiga golongan manusia.


Pertama, golongan kafir. Bagi kelompok ini, mau ada bukti atau tidak, tetap tak mau beriman. Mereka gengsi dan tertutup hatinya dari kebenaran. Misalnya, Abu Jahal, Abu Lahab dan orang-orang kafir zaman Nabi.


Kedua, golongan empiris-rasional. Bagi orang-orang ini, mereka tak mau beriman sebelum ada ada bukti, sebagaimana sikap umat-umat zaman para nabi dulu. Zaman Nabi Nuh, Musa, Ibrahim dan Muhammad SAW, semua sama, menuntut bukti. Bagi mereka bukti itu harus. Jadi, menuntut bukti atas keimanan itu bukan pikiran modern tapi pikiran kuno zaman para nabi hingga zaman jahiliyah. Banyaknya "orang-orang modern" sekarang menuntut bukti atas keimanan atau kebenaran agama itu bisa disimpulkan itu jenis manusia jaman kapan. Sejarah berulang.


Ketiga, golongan beriman. Bagi orang-orang beriman, bukti ilmiah, empiris rasional, itu tak perlu dan tak butuh. Bukti mereka cukup siapa yang menyampaikannya. Kalau itu adalah Muhammad Rasulullah SAW, sudah cukup,  itu bukti di atas bukti. Aksioma. Mau masuk akal atau tidak, mau bisa dimengerti atau tidak, mau empiris rasional atau tidak, tak butuh. Iman di atas segalanya. Iman itu menenangkan dan mendamaikan hati. Kata orang-orang sekarang, "itu dogmatis dong?" Orang golongan beriman pun menjawab: "Oh bukan tapi cilokis dan seblakis." "Ah, itu tak empiris rasional." Golongan beriman menjawab lagi: "Selamat kembali ke jaman batu."

Moeflich Hasbullah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.