NUBANDUNG.ID -- Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tak terbantahkan, termasuk seni musik tradisional. Salah satu warisan budaya yang patut kita kenal lebih dekat adalah calung, alat musik tradisional khas Sunda yang terbuat dari bambu.
Calung tidak hanya menawarkan alunan nada yang menenangkan, tetapi juga menjadi cerminan kreativitas dan sejarah masyarakat Sunda.
Melansir Buku Waditra: Mengenal Alat-Alat Kesenian Daerah Jawa Barat oleh Drs. Ubun Kubarsah R., kata “calung” berasal dari bahasa Sunda, yakni ca yang berarti membaca (maca) dan lung yang berarti bingung (linglung).
Filosofi ini berakar dari kebiasaan masyarakat Sunda zaman dulu yang sering memainkan calung di tengah kesunyian sawah atau ladang untuk menghibur hati yang gelisah. Musik calung menjadi teman di saat mereka menunggu panen, menghadirkan suasana yang menenangkan sekaligus reflektif.
Awalnya, calung hanya dimainkan sebagai hiburan pribadi. Namun, seiring waktu, alat musik ini berkembang menjadi bagian dari seni pertunjukan yang menghibur sekaligus memperkaya identitas budaya Sunda.
Jenis-Jenis Calung
Tahukah anda? Calung memiliki beberapa jenis yang masing-masing unik baik dari segi bentuk maupun cara memainkannya:
1. Calung Rantay
Terdiri dari 10 bilah bambu yang diikat berjajar dan dimainkan sambil duduk dengan cara memukul bilah bambu menggunakan alat pemukul.
2. Calung Gambang
Mirip dengan calung rantay, tetapi bilah bambunya dipasang di atas rangka khusus (ancak), mirip alat musik gambang. Jenis ini memiliki stabilitas rangka membuatnya lebih nyaman dimainkan.
3. Calung Jingjing
Jenis calung ini dimainkan sambil digantung. Tangan kiri memegang rangka bambu, sementara tangan kanan memukul bilah-bilahnya.
Calung jingjing terdiri dari empat bagian utama:
1. Kingking sebagai pembawa melodi.
2. Panempas untuk variasi irama.
3. Jongjrong sebagai pengatur pola lagu.
4. Gonggong yang berfungsi sebagai alat perkusi pengganti gong.
Di antara ketiga jenis calung, calung jingjing menjadi yang paling sering digunakan dalam seni pertunjukan modern. Perkembangannya dimulai pada tahun 1960 oleh Ekik Barkah, Parmas, dan seniman dari Universitas Padjadjaran Bandung.
Inovasi ini menjadikan calung jingjing lebih dinamis, sehingga dapat memadukan unsur musik dengan hiburan lain seperti vokal, dialog humor, hingga gerakan-gerakan lucu.
Kini, calung tidak lagi sekadar alat musik tradisional, tetapi telah bertransformasi menjadi seni pertunjukan yang memikat. Dengan memasukkan unsur humor dan interaksi langsung dengan penonton, calung menjadi hiburan yang tak hanya menyenangkan, tetapi juga mendekatkan generasi muda kepada budaya leluhur.
Sebagai bagian dari budaya Sunda, calung mencerminkan nilai-nilai lokal yang kaya makna. Keindahan alat musik ini, mulai dari nada yang menenangkan hingga fungsinya dalam seni pertunjukan, menegaskan betapa pentingnya kita menjaga dan melestarikan warisan budaya ini.