NUBANDUNG.ID -- Tidak disangsikan lagi bahwa kiprah orang Sunda dalam perpolitikan nasional terutama soal kepemimpinan berskala nasional (presiden) mengalami stagnansi yang cukup panjang. Hal ini dipicu karena pandangan politik orang Sunda yang tak lazim sebagaimana dianut kebanyakan para politikus.
Terkait dengan hal itu, Direktur Media Center NU Online Jabar Iip D Yahya menyebut bahwa kondisi demikian dipicu karena pandangan politik orang Sunda yang tidak lazim. Menurutnya, politik orang Sunda lebih fokus pada politik yang menitik beratkan pada politik keamanan, pendidikan, lingkungan, serta kenyamanan hidup, bukan pada politik kekuasaan.
Dikutip tina catatan organisasi tahun 1919, dina statuta (AD/ART) Paguyuban Pasundan, mertelakeun rehna tujuan paguyuban teh pikeun ngamajukeun urang Sunda supaya tambah-tambah kasalametan nana. Ari petana rek ihtiar pikeun ngamajukeun pangarti, kahirupan, sarta nata kahadean laku lampah urang Sunda ku jalan pendidikan. Kitu oge pikeun ngalemesan pikiran urang Sunda, supaya tambah kakuatan, sahingga bagja kahirupan nana," jelas Kang Iip saat menjadi narasumber dalam Siniar Sunda yang digagas Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Bandung.
"Dari statuta itulah, kemudian orang Sunda tidak mengenal kata politik sebagaimana lazimnya. Bagi orang Sunda, politik itu adalah usaha untuk mengamankan, mencerdaskan, serta membahagiakan sesama manusia," tambahnya dikutip dari laman NU Jabar, Sabtu (21/12/2024).
Kang Iip menilai orang Sunda tidak begitu mementingkan politik kekuasaan disebabkan oleh satu statuta yang menyebut bahwa orang Sunda tidak akan memfokuskan pada persoalan agama dan politik. "Enggoning kitu teh moal pisan nyabit-nyabit kana persoalan agama atawa nyimpang kana aturan agama," imbuhnya.
Namun setelah adanya propaganda Antropolog Belanda Karel Frederik Holle, kata Kang Iip, orang Sunda dikenalkan dengan ilmu politik. Beberapa propaganda politik Karel Frederik Holle untuk melemahkan orang Sunda meliputi penggantian hurup Arab Pegon dan undang usuk bahasa Sunda menjadi hurup latin, menjauhkan budaya Islam dari lembaga pemerintah di tatar Sunda, memperlemah pengaruh kiai dan santri, serta memalingkan orang Sunda dari ajaran agama dan budayanya.
Holle Line (Garis Holle)
Dalam kesempatan tersebut, Kang Iip juga mengungkapkan temuannya terkait jejaring yang mengindikasikan pengaruh Karel Frederik Holle yang disebutnya sebagai Holle Line.
Holle Line merupakan batasan antara tokoh yang berada di dalam maupun di luar pengaruh pemikiran Karel Frederik Holle. Komunitas yang berada di dalam lingkaran Holle Line yakni, pertama para budayawan/cendekiawan/sastrawan yang berusaha dalam memurnikan/mengembalikan kejayaan sastra Sunda. Kedua, komunitas perkebunan dan pertanian meliputi pengusaha pribumi, pejabat pribumi, pegawai, hingga pekerja. Ketiga, yaitu para pelaku pendidikan.
"Dari beragam komunitas yang mendapat banyak pengaruh Karel Frederik Holle itu, kemudian lahirlah pada 20 Juli 1913, Paguyuban Pasundan. Mengutip pendapat Edi S Ekadjati, lahirnya Paguyuban Pasundan di tahun itu merupakan era kebangkitan kembali politik orang Sunda pasca runtuhnya kerajaan Padjadjaran," tutur Kang Iip.
Sementara kelompok yang berada di luar lingkaran Holle Line, tambah Kang Iip, yakni komunitas pesantren, para kiai, para santri maupun aliran tarekat, dan kelompok adat. "Dua komunitas ini berada di luar Holle Line yang tetap mempertahankan cara pandang yang masih berpegang teguh pada budaya Arab Pegon dan ajaran lokal Sunda Wiwitan," jelasnya.
Kang Iip berpendapat, atas peran Frederik Karel Holle, kemudian kelompok Islam yang semasa kolonial Belanda mendapatkan pengaruh pendidikan dengan menjamurnya budaya tulis latin, maka kelompok Islam banyak yang tampil dalam percaturan politik awal kemerdekaan. "Karena pengaruh Karel Frederik Holle juga kemudian para pribumi menjadi menak paseban seperti bupati, wadana, hingga menak kaum penghulu keagamaan.
Sementara kelompok agama/santri yang di luar Holle Line yang sudah mendapatkan pendidikan kolonial, orientasinya bertransformasi ke arah kepemimpinan tingkat daerah. Jika dirunut, tokoh seperti Ridwal Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum, merupakan keturunan ajengan yang berbudaya pegon yang kemudian belajar laten, sekolah dan berorganisasi sehingag tumbuh sebagai elit baru Sunda," tandas Kang Iip