NUBANDUNG.ID -- Benjang bukan hanya sebuah seni beladiri. Ia adalah warisan budaya yang mengandung sejarah panjang, filosofi mendalam, dan semangat keberanian untuk melestarikan kearifan lokal.
Bandung, kota yang kaya akan budaya dan seni, tidak hanya dikenal dengan pesona alamnya yang memesona tetapi juga karena warisan budaya yang beragam. Salah satu warisan budaya yang khas dari kota ini adalah seni beladiri yang bernama Benjang.
Dilansir dari laman Kota Bandung, benjang bukanlah sekadar seni beladiri biasa. Ia memadukan unsur-unsur seni dan beladiri dalam sebuah pertunjukan yang memukau dan sarat makna. Sejarah panjang Benjang membawa kita kembali ke akhir abad ke-19, di mana seni ini mulai berkembang di Kecamatan Ujungberung, Bandung.
Awalnya, Benjang hanya merupakan permainan yang dilakukan oleh anak-anak lelaki atau budak perkebunan kopi di sasamben (amben/bale). Dari situlah, Benjang kemudian diambil namanya, berasal dari singkatan "sasamben budak bujang" yang berarti "arena para jejaka".
Seiring berjalannya waktu, Benjang berkembang dan berasimilasi dengan seni terebangan dan seni gedut, menjadi sebuah seni beladiri yang dimainkan di berbagai tempat seperti pekarangan rumah, sawah, atau tanah lapang. Ini menjadi ajang silaturahmi antar warga, bahkan menjadi pertunjukan yang menghibur masyarakat.
Perjalanan Benjang tidaklah mudah. Dilarang oleh rezim kolonial pada masanya, Benjang terus berkembang secara sembunyi-sembunyi melalui perpaduan seni dan beladiri yang tumbuh dari pesantren. Ia berkembang dari permainan sederhana menjadi sebuah pertunjukan yang sarat makna, menggabungkan unsur hiburan dengan tradisi religi.
Seni Benjang tidak hanya memainkan peran sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai wahana untuk menjaga hubungan baik antar manusia dan dengan Sang Pencipta. Inilah yang menjadi filosofi di balik seni Benjang: "hambluminanas, hablumin-Alloh".
Meskipun perjalanan Benjang penuh dengan tantangan, namun seni ini tetap bertahan dan terus berkembang hingga saat ini. Meskipun tidak lagi dimainkan secara utuh sebagai sebuah pertunjukan, nilai-nilai dan kearifan lokal yang terkandung dalam Benjang tetap diwarisi dan dilestarikan oleh masyarakat Ujungberung.
Dari larangan pemerintah kolonial hingga masa Orde Baru yang membatasi, Benjang tetap teguh dan akhirnya kembali meraih tempatnya di masyarakat pada awal 2000-an. Kembali dipentaskan di depan umum, Benjang tidak hanya sekadar pertunjukan, tetapi juga menjadi simbol keberanian, keuletan, dan kegigihan dalam melestarikan warisan budaya lokal.
Benjang bukan hanya sebuah seni beladiri. Ia adalah warisan budaya yang mengandung sejarah panjang, filosofi mendalam, dan semangat keberanian untuk melestarikan kearifan lokal. Melalui Benjang, kita tidak hanya melihat sebuah pertunjukan yang memukau, tetapi juga sebuah perjalanan panjang sebuah budaya yang terus hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Bandung.