NUBANDUNG.ID -- Indonesia sebagai negara demokrasi dicirikan oleh adanya Pemilu. Pemilu menjadi ajang kompetisi antar partai politik maupun perorangan. Pemilu media rakyat memilih Presiden (Pilpres), Gubernur (Pilgub), Walikota atau Bupati (Pilwalkot/pilbub) dan para wakil rakyat di DPRD hingga DPR RI (Pileg).
Di Indonesia nyaris semua orang tahu bahwa ‘cost politik’ sangatlah mahal, sebab sebagian besar rakyat sudah terbiasa diajari memilih berdasarkan amplov atau imbalan uang. Cara mempengaruhi pemilih (rakyat) agar memilih dirinya dengan memberi imbalan uang disebut money politik.
Money politik menjadi kata negative karena dianggap perusak demokrasi, penyebab tingginya korupsi atau racun yang menggerogoti bangsa. Namun pada kenyataannya Politik uang adalah senjata pamungkas dalam meraih pemilih pada hari “H.” Hingga kemudian para peserta pemilihan melakukan dengan cara “tersembunyi” atau istilah orang sunda “susulumputan,”. Tentu ketika terpilih mereka yang terpilih akan bicara dengan lantang bahwa terpilihnya bukan karena politik uang.
Entah apa yang menjadi latar belakang pikiran seorang Hugua yang merupakan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP. Hugua mengusulkan KPU untuk melegalkan praktik politik uang atau money politic.
Hal ini disampaikan dalam rapat kerja (raker) Komisi II DPR bersama KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemendagri di gedung DPR.
"Tidakkah kita pikir money politics dilegalkan saja di PKPU dengan batasan tertentu? Karena money politics ini keniscayaan, (tanpa, red) money politics, tidak ada yang memilih, tidak ada pilih di masyarakat karena atmosfernya beda," ujar Hugua saat menyampaikan usulannya.
Hugua menyebut kontestasi politik uang merugikan terutama bagi mereka yang tak punya modal. Sehingga, daripada dilakukan secara tersembunyi sebaiknya dilegalkan tapi jumlahnya diatur.
“Jadi sebaiknya kita legalkan saja dengan batasan tertentu. Kita legalkan misalkan maksimum Rp20 ribu atau Rp50 ribu atau Rp1 juta atau Rp5 juta,” pungkasnya.
Tentu usulan kontrovesi ini di tolak mentah-mentah, salah satunya oleh KPK (komisi Pemberantasan Korupsi) seperti yang disampaikan oleh Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 15 Mei.
Mungkin yang diusulkan oleh Hugua dianggap tidak waras, namun kenyataannya bangsa ini sedang tidak waras bahkan sakit kronis, buktinya adalah adanya politik uang di setiap Pemilu, bahkan semakin menjadi-jadi. Nilai amplovnya tak ada batasnya, saling banting angka besaran amplov diantara kontestan.
**Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.