NUBANDUNG.ID -- Tak ingin menjadikan ekonomi sebagai hambatan dalam menumbuhkan potensi anak-anak di lingkungannya, Karang Taruna Cipadung Kulon, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung membuat ide brilian.
"Anak-anak di sini punya potensi di bidang atletik futsal. Namun, karena mayoritas dari kalangan menengah bawah, seringnya terbentur dengan ekonomi. Mereka tidak bisa ikut akademi futsal atau sepak bola. Akhirnya kami bikin sendiri dengan sistem bayar menggunakan sampah," jelas Anggota Karang Taruna Kelurahan Cipadung Kulon, Ahmid Saepudin dikutip dari laman Kota Bandung, Kamis (7/3/2024)
Para siswa Akademi Futsal Cikul tiap pekan ditargetkan mengumpulkan sampah anorganik sebanyak 80 kg. Jika dikonversikan dalam rupiah, bisa mencapai Rp150.000-Rp200.000.
Sampah anorganik disetorkan ke Bank Sampah milik Kelurahan Cipadung Kulon. Dari hasil penjualannya, uang tersebut digunakan untuk menyewa lapangan futsal.
"Hasilnya buat sewa lapangan untuk latihan. Bisa dibilang, kami ini akademi futsal pertama yang siswanya bayar pakai sampah. Program ini baru berjalan 5 bulan, semoga bisa semakin berkembang," ungkapnya.
Ahmid mengaku, timnya mendapatkan banyak respon positif dari warga. Bahkan dengan adanya program ini, para orang tua jadi ikut memilah sampah demi anaknya bisa ikut Akademi Futsal Cikul.
"Positifnya lagi, anak-anak jadi peduli lingkungan. Mereka yang tadinya setelah jajan langsung buang sampah, sekarang jadi disimpan di tas biar bisa kumpulin banyak sampah anorganik," akunya.
Menanggapi hal itu, Ketua Kampung Kabesoka Kelurahan Cipadung Kulon, Suryana mengaku turut mengolah sampah organik yang diperoleh dari anak-anak didik Akademi Futsal Cikul.
"Nasabah bertambah terus sampai saat ini. Tiap Rabu ada penimbangan. Warga juga sekarang jadi antusias. Tabungan dari sampah anorganik bisa diambil untuk keperluan sekolah dan hari raya," papar Suryana.
Sampah anorganik yang terkumpul sebagian diolah jadi rastik, seperti kerajinan tangan, tempat pulpen, dan pajangan. Bahkan, hasil karya tersebut kerap dipesan untuk cendramata hajatan.
"Semuanya terbuat dari barang bekas. Ibu-ibu sekitar yang bikin. Kami sebulan sekali ada jadwal rutin buat kumpul bersama," lanjutnya.
Sementara itu, Lurah Cipadung Kulon, Muhammad Firman mengatakan, sampah organik diolah menggunakan maggot dan Kang Empos. Sampah anorganik diolah lewat Bank Sampah. Sedangkan sampah residu akan diolah dengan insinerator.
"Di Cipadung Kulon saya targetkan tahun ini tidak ada sampah yang keluar ke TPS dan TPA. Namun, pengolahan dengan insinerator ini jangan sampai menjadi masalah baru dengan adanya polusi. Harus dikaji lebih lanjut," tutur Firman.
Sedangkan maggotisasi saat ini sudah menuju ke fase ketiga. Pembibitan sudah mulai produksi. Produknya pun bahkan sudah diincar peternakan dan para penggemar burung kicau.
"Sekitar 20-25 kg sampah organik habis per hari oleh maggot. Kami ada 1.000 boks maggot, sampai sekarang sudah ada 6.883 kg sampah organik berhasil diolah dalam waktu 4 bulan," ungkapnya.