AHMAD SAHIDIN, Penulis Buku Tanda-tanda Kiamat Mendekat
NUBANDUNG.ID -- Peristiwa spiritual Isra Mi’raj merupakan perjalanan spiritual. Dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam semalam: dari rumah Ummu Hani (saudara perempuan Ali) di Makkah, yang menunggang kendaraan yang kecepatannya seperti kilatan cahaya (buraq) menuju Masjid Aqsa, Palestina. Dari Masjid Aqsa ini Rasulullah saw melanjutkan perjalanannya ke langit dan berakhir di Sidratul Muntaha.[1] Di tempat inilah Nabi mendapat perintah shalat yang jumlahnya tujuh belas rakaat. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Quran surah Al-Isra dan An-Najm.
Sejarawan Jafar Subhani menyebutkan peristiwa spiritual ini terjadi pada tahun sepuluh kenabian, yaitu 27 Rajab atau saat usia Nabi 51 tahun. Nabi tanpa takut mengabarkan peristiwa ini secara terbuka di hadapan masyarakat Makkah. Tentunya kisah tersebut bagi musuh Islam menambah bukti kegilaan Nabi. Musuh semakin gencar menyerang orang-orang Islam dengan cemoohan sehingga mereka yang baru memeluk Islam mulai bimbang dengan keyakinannya. Seorang sahabat yang mendampingi Nabi hijrah ke Madinah di tengah masyarakat dengan lantang membenarkan perjalanan spiritual yang dialami Rasulullah Saw.
Meski dicemooh, Nabi terus dakwah sampai ke Thaif. Bukan sambutan yang didapat, malah lemparan batu dan hinaan dari anak-anak kecil suruhan para pembesar Thaif. Cucuran keringat bercampur darah akibat lemparan batu yang didapatkan oleh Nabi. Dalam upaya mengindar dari kejaran, Nabi bersembunyi di kebun milik Utbah dan Syaibah. Di sini Nabi bertemu dengan seorang Kristen bernama Adas kemudian menyampaikan ajaran Islam kepadanya. Selanjutnya Nabi kembali ke Makkah.
Kalau direnungkan bahwa dakwah Nabi Muhammad Saw yang berat terjadi setelah peristiwa Isra Miraj. Perlindungan yang diandalkan hanya semata-mata dari Allah karena dua pelindung utamanya, Khadijah dan Abu Thalib telah wafat. Karena itu, peristiwa Isra Mi’raj merupakan anugerah yang khusus untuk Nabi Muhammad Saw.
Dengan Isra Miraj ini menunjukkan Nabi Muhammad Saw masih tetap berada dalam naungan Allah meski dakwah di Makkah tidak menambah jumlah pemeluk agama Islam. Selama tiga belas tahun di Makkah hanya sekira delapan puluhan orang yang beriman, juga ada yang menyebutkan sekira 180-200 orang yang memeluk Islam di Makkah. Jumlah ini termasuk kecil dibandingkan dengan umat Islam di Madinah yang mencapai puluhan ribu orang dalam waktu sepuluh tahun. Mengapa?
Tantangan dakwah di Makkah lebih berat ketimbang di Madinah. Orang-orang Makkah terkenal kuat dengan tradisi kesukuan dan kecintaan terhadap benda-benda materi lebih dominan. Adanya Ka’bah sebagai pusat keagamaan bagi seluruh masyarakat di Jazirah Arab membuat penduduk Makkah harus mempertahankan semua tradisi keagamaan dengan terus diwariskan kepada generasi setelahnya.
Kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bangsawan menciptakan kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Madinah. Kekuatan masyarakat berada di tangan kepala suku dan kabilah. Di antara kadang terikat dengan perjanjian yang menuntut mereka untuk saling mendukung. Karena itu, kehadiran Rasulullah saw dengan ajaran-ajaran Islam yang berpotensi mengubah tatanan tradisi dan kehidupan masyarakat Makkah maka perlu ditentang.
Unsur solidaritas kesukuan (ashabiyah) ini yang sulit ditembus dan umumnya yang menolak ini kaum bangsawan atau kepala suku yang dari kekayaan (kenikmatan hidup) sudah dimiliki. Mungkin mereka berpikir buat apa mengikuti Nabi yang miskin dan tidak berwibawa serta menentang tradisi nenek moyang mereka. Seruan yang didasarkan iming-iming harapan keselamatan dan kenikmatan di akhirat yang disampaikan Nabi hanya menarik buat orang-orang yang berada dalam kondisi tertindas. Hanya orang-orang dhu’afa atau yang berderajat rendah yang merindukan suasana bahagia yang ditawarkan Nabi.
Al-Quran yang dibawa Nabi Muhammad Saw belum menyadarkan seluruh orang Makkah untuk berpindah agama dari paganisme (musyrik) ke monotheisme (Islam). Kamu bangsawan Makkah tidak tertarik dengan kabar langit yang menjanjikan keselamatan di akhirat. Kehidupan dunia membuat orang-orang Makkah tidak mengenal hakikat hidup setelah kematian. Ajaran lurus (hanif) dari para leluhur Arab (Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as) tidak mengubah mereka menjadi lebih baik. Kesadaran orang-orang Makkah untuk menerima Islam sebagai agama merupakan persoalan yang sulit disentuh sehingga Nabi berpindah ke tempat baru untuk penyebaran Islam. Di Madinah, tempat baru ini Nabi kembali menyeru kembali masyarakat Makkah.
Jalaluddin Rakhmat dalam ceramahnya di Masjid Al-Munawwarah, Jalan Kampus IV Kebaktian Kiaracondong Bandung, Ahad pagi, 7 April 2011, mengartikan sidratulmuntaha sebagai ujung perjalanan manusia di akhirat.
Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta: Lentera, 2006) halaman 244; lihat Muhsin Labib, Rahasia Hari dan Primbon Islam (Jakarta: Zahra, 2010) h.72, menyebutkan terjadi tahun 11 kenabian.
Dalam hitungan kalender Masehi peristiwa Isra Mi’raj terjadi sekira tahun 619-620 Masehi.
Kajian Isra Mi’raj dari aspek spiritual banyak sekali dibahas oleh para ulama. Hal yang tak pernah dibahas adalah Nabi dengan perjalanan ke langit tersebut telah mempelopori perjalanan ke ruang angkasa dan menginspirasi para ilmuwan-ilmuwan membuat pesawat terbang dan mengkaji hingga melahirkan ilmu astronomi.
Miftah Fauzi Rakhmat, The Prophetic Wisdom: Kisah-kisah Kearifan Para Nabi (Bandung: Mizani, 2011) halaman xiii.
H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah saw (Bandung: Mizan, 1995) halaman 189-193.