NUBANDUNG.ID -- Cliffort Geertz dulu mengkategorikan masyarakat Indonesia ke dalam tiga golongan masyarakat yaitu santri, priyayi dan abangan. Trikotomi ini mulai tidak relevan dan sedikit demi sedikit menyusut saat gelombang islamisasi pada masa orde baru tumbuh pesat.
Migrasi dari kelompok abangan atau priyayi menjadi kalangan santri begitu besar tahun 80-90 an itu. Sehingga muncul istilah santrinisasi birokrasi dan santrinisasi-santrinisasi di bidang kehidupan lainnya.
Masyarakat menjadi tersantrikan dan kehidupan beragama 'living religious' tumbuh beragam dan begitu menjamur, salah satunya dengan meningkatnya trend berhijab atau munculnya grup-grup musik religi.
Mengkritisi Geertz, Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa trikotomi itu pada akhirnya akan melebur seiring dengan semakin meratanya pengetahuan dan tingkat pendidikan.
Pasca reformasi, yang pernah disampaikan Geertz sudah tidak relevan lagi, karena masyarakat abangan sudah tidak bisa diidentifikasi lagi seperti dulu. Masyarakat sudah melebur menjadi susunan yang berbeda.
Bagi kami, adanya hari santri merupakan pintu kemungkinan munculnya kembali trikotomi Geertz yang dulu pernah dicetuskannya. Megapa?Sebab masyarakat yang tadinya sudah melebur karena terbukannya akses keilmuan dan pendidikan, dengan adanya hari santri sangat memungkinkan adanya kalangan non-santri yang merasa punya identitas berbeda.
Bagi kami, sangat mungkin muncul kelompok masyarakat non-santri yang membangun narasi yang diametral dengan kalangan santri. Seperti dulu kaum abangan yang secara sosial-budaya berbeda dengan santri. Sehingga dulu kaum santri dan abangan sangat sering berkonflik karena merasa berbeda identitas.
Adanya hari santri menurut kami harus dikritisi lagi sebab ada kemungkinan terjadinya kotomi-kotomi yang saling bertentangan dan menimbulkan konflik seperti santri-abangan tempo dulu.***(RTH)