Oleh : Idat Mustari*
NUBANDUNG.ID -- Banyak orang bermimpi jadi anggota legislatif, sebab jadi anggota legislatif selain bergajih besar, berfasilitas lengkap, hidup pun terjamin,hingga dapat merek sebagai yang terhormat. Menurut Arie Sujito, pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, parlemen memilki daya tarik sebagai entertainment dalam industri kekuasaan.
Konon kata orang yang jadi anggota legislatif “ Jadi anggota legislatif itu enaknya hanya satu persen, 99 persennya enak sekali.” Oleh karena itu para incumbent akan terus ikut PILEG, juga di PILEG 2024, sebab yah enak sekali.
Tentu saja sudah seharusnya para caleg yang ikut di Pileg 2024, yang akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024 (Rabu), diawali niat yang baik. Niat ingin menjadi wakil rakyat yang amanat, ingin membuat program untuk kepentingan rakyat agar rakyat sejahtera, dan niat-niat baik lainnya harus tertanam dalam jiwa.
Dalam ajaran Islam, niat dipandang sebagai penentu segala perbuatan. Setiap amal bergantung pada niat. Niat bisa merubah sesuatu yang mubah jadi ibadah. Begitupun karena niat bisa merubah yang seharusnya berpahala jadi sia-sia.
Namun jadi caleg hanya bermodalkan niat saja tentu tidak cukup. Menjadi caleg di negeri ini, bukan arena jualan idealisme, tetapi bagaimana "membeli”suara rakyat, terutama di hari besok menjelang pencoblosan suara atau yang dikenal sebagai “serangan fajar.”
Tentu untuk “membeli” suara rakyat yang dibutuhkan adalah duit. Ingat di negeri ini, jadi caleg ukurannya bukan, kecakapan, kecerdasan otak, apalagi akhlak. Eks narapidana (napi) korupsi boleh mendaftar sebagai calon legislatif (caleg) bukti bahwa soal akhlak tak jadi soal.
Di negeri ini jangan berpikir kalau eks narapidana korupsi pasti tidak akan terpilih. Sama sekali tidak, sebab jika ia banyak duit dan mampu membeli suara rakyat, kemungkinan terpilih sangat besar, dibandingkan dengan caleg yang hanya bermodalkan niat dan idealisme.
Duit dibutuhkan oleh caleg untuk membentuk relawan yang dalam kamus berarti orang yang dengan sukarela siap mendukung—memenangkan tanpa harus dibayar. Tapi sayang, itu hanya ada dalam alam mimpi, sebab relawan bagi caleg pasti harus dibayar, dan untuk membayarnya butuh duit.
Untuk membuat media indoor atau pun outdoor, seperti spanduk, baliho,banner, tentu harus pakai duit. Setelah ada spanduk, baliho, banner, tentu harus dipasang, untuk memasangnya butuh orang, untuk itu butuh duit. Setelah dipasang, harus ada yang menjaganya, sebab tanpa dijaga, hari ini dipasang, besok sudah hilang. Orang mau menjaganya, itu pun jika dikasih duit.
Seorang caleg harus mau mendatangi masyarakat untuk tatap muka. Masyarakat pasti akan datang, mau bertemu dengan caleg, karena tahu setelah beres acara akan dikasih duit, paling tidak konsumsi, untuk itu butuh duit.
Seringkali seorang caleg merasa yakin setelah sekali tatap muka masyarakat yang berkumpul dengannya pasti memilihnya. Dan di hari H tak ada suaranya, ini diakibatkan suara masyarakat yang dulu kumpul sudah “dibeli” oleh caleg lain dengan duit.
Jadi caleg butuh duit. Tapi banyak duit pun tidak dijamin terpilih,sebab dibutuhkan pula strategi yang matang. Begitupun caleg yang hanya bermodalkan niat, namun tak bermodalkan duit sama sekali, maka sedang mimpi jadi caleg.
*Pemerhati Sosial, Keagamaan dan Advokat