NUBANDUNG.ID -- Saat itu KHR. Muhammad Zarkasyi, atau biasa dikenal dengan Mama Cibaduyut, pulang dari ibadah hajinya. Kepulangannya dari Mekkah tentu dinanti-nantikan dan siap disambut dengan antusias oleh para santrinya yang sekian lama ditinggal oleh sang pengasuh.
Para santri selain merindukan sang kyai juga karena mengharapkan keberkahan doanya orang yang baru pulang dari haji, doa manjur. Zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang, kendaraan yang dipakai oleh jamaah haji adalah dengan mengendarai kapal/perahu.
Para santri sudah berkumpul di dermaga menanti kedatangan kapal jamaah haji yang membawa kyai mereka, Mama Cibaduyut.
Setelah beberapa saat, terlihatlah satu kapal mendarat di dermaga. Para jamaah haji dan penumpang lainnya satu persatu turun dari kapal. Diamati satu persatu, Mama Cibaduyut belum nampak juga oleh para santri.
Dari dalam perahu, Mama Cibaduyut sudah mengetahui di dekat dermaga sedang ada pembangunan masjid. Karena kapal yang ditumpanginya itu memuat barang-barang yang diperlukan untuk pembangunan masjid tersebut.
Diselempangkanlah jubah dan serbannya, dengan semangat Mama Cibaduyut turun dari kapal dengan mengangkut barang-barang keperluan pembangunan masjid itu.
Para santri yang sedari tadi menunggu untuk bersalaman, namun setelah mereka melihat kyainya sedang mengangkut barang-barang dari kapal menuju pembangunan masjid akhirnya mereka pun berduyun-duyun turut serta mengangkut. Bahkan Mama Cibaduyut, yang akhirnya juga diikuti para santrinya, ikut membantu para pekerja membangun masjid hingga selesai.
Begitulah sosok kyai besar, pengasuh pesantren, punya banyak jamaah dan santri, namun dengan tanpa rasa canggung dan gengsi turun tangan secara langsung membantu menyelesaikan pembangunan masjid. Sebuah contoh dan teladan yang mudah ditiru dan diikuti para santrinya tanpa diminta sekalipun.
Benar apa kata al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad: “Lisanul hal afshahu min lisanil maqal” (Lisan perbuatan lebih ampuh daripada lisan ucapan). Kisah di atas saya dapatkan dari penuturan Bapak M. Thoha, yang ia dengar saat pengajian Buya KH. Zainuddin Abu Thalhah Cimahi.
Pondok Pesantren Mama Cibaduyut
Pondok Pesantren ar-Rasyid merupakan salah satu pesantren tertua di Kota Bandung. Pesantren ini berada di Jl. Cibaduyut Raya No. 65 Rt. 03/01 Kel. Cibaduyut Kecamatan Bojongloa Kidul Cimahi. Pendiri pesantren ini adalah KH. Raden Muhammad Zarkasyi yang akrab dipanggil Mama Cibaduyut atau Mama Cihapit.
H. Hasan Mustafa, salah satu pengurus Pondok Pesantren ar-Rasyid, mengatakan: “Dulu sebelum membuat pondok pesantren di Cibaduyut, Mama Cibaduyut membuat pondok pesantren di Cihapit. Jadi ada yang bilang Mama Cihapit ada yang bilang Mama Cibaduyut.”
Kepindahan Mama Cibaduyut dari Cihapit ke Cibaduyut konon karena daerah itu sedang dikuasai Belanda. Namun Hasan sendiri tidak tahu kapan pondok pesantren ini didirikan: “Tapi yang pasti Mama Cibaduyut meninggal tahun 1947 M.” tambah H. Hasan.
Setelah kewafatan Mama Cibaduyut, kepengurusan Pondok Pesantren ar-Rasyid dilanjutkan oleh kedua putranya, KH. Hasbullah dan KH. Sulaeman Kurdi. Untuk masa sekarang kepengurusan pesantren sudah ke generasi cucu, sepert H. Hasan Mustafa, H. Agus Somadin dan H. A. Musa.
Pondok Pesantren ar-Rasyid menggunakan metode pendidikan umumnya pesantren-pesantren salaf dengan kitab kuning sebagai pegangan dan ajarannya. Dulu, Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia, Soekarno-Hatta, pun pernah mendatangi pesantren ini.
Adapun jumlah santri Pondok Pesantren ar-Rasyid saat ini hanya berkisar 15 santri dan yang menginap hanya 4 santri. Jumlah santri yang sedikit ini tidak seperti dulu ketika masih dipimpin oleh sang pendiri, Mama Cibaduyut.
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 12 Maret 2014.