NUBANDUNG.ID --Tanah Pasundan melahirkan banyak tokoh alim ulama. Mereka berperan dalam banyak bidang, seperti dakwah, pendidikan, sosial, dan politik pergerakan. Sejarah mencatat, para mubaligh Sunda ikut mengorbankan pemikiran, harta, tenaga, dan bahkan nyawa untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Salah seorang dai yang masyhur dari Jawa Barat adalah KH Anwar Musaddad. Guru besar ushuluddin dari IAIN Yogyakarta—kini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga—tersebut berjuang dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Perannya cukup signifikan, baik pada masa revolusi RI maupun sesudah periode 1945-1949.
KH Anwar Musaddad lahir di Garut, Jawa Barat, pada 3 April 1910. Nama aslinya adalah Dede Masdiad. Dilihat dari nasabnya, ia tergolong ningrat. Ayahnya, Abdul Awwal bin Haji Abdul Kadir, merupakan keturunan Syekh Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Djati. Dengan demikian, tokoh ini terhubung ke dinasti Kerajaan Pajajaran dan Cirebon.
Adapun ibundanya bernama Marfuah binti Kasriyo. Wanita itu adalah keturunan Pangeran Diponegoro. Darinya, Anwar Musaddad mendapatkan nasab keluarga ningrat Kesultanan Mataram Islam.
Sejak berusia empat tahun, ia sudah menjadi seorang anak yatim. Sepeninggalan ayahnya, Anwar kecil dibesarkan oleh ibunya yang sangat taat dalam beribadah. Beberapa bulan kemudian, sang ibunda menikah lagi dengan seorang yang memiliki kepribadian sangat baik.
Anwar Musaddad memulai pendidikannya di Hollandsh-Inlandsche School (HIS). Setelah menamatkan pendidikannya di sana pada 1922, ia lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Christelijk, Sukabumi. Berikutnya, pemuda itu mengenyam pendidikan menengah di Algamene Middlebare School (AMS), Batavia (Jakarta).
Dengan menempuh sekolah di lembaga pendidikan formal, Anwar sempat dicemaskan murtad. Waktu itu, muncul desas-desus di tengah umat Islam bahwa anak-anak pribumi yang bersekolah di MULO atau AMS akan dikristenkan. Ibunya di kampung halaman terpengaruh kabar burung itu.
Karena itu, Anwar dipanggil pulang saat sedang studi di Jakarta. Memang, selama di perantauan pemuda itu beberapa kali mengkaji pengetahuan tentang agama Nasrani. Akan tetapi, hal itu dilakukannya atas dasar menyerap informasi saja, bukan untuk berpindah keyakinan.
Bagaimanapun, ibunya tetap saja khawatir. Di kampungnya, Anwar kemudian mendapatkan bimbingan untuk menguatkan keilmuan Islam. Salah seorang gurunya saat itu adalah Ustaz Muhammad Sachroni.
Usai lulus dari AMS Jakarta, Anwar menjadi santri di Ponpes Darussalam Wanaraja, Garut, selama dua tahun. Dengan dimondokkan, ibunya berharap pemuda ini dapat memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Doa sang bunda terbukti makbul.
Pada 1930, Anwar berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan ke Tanah Suci dimaksudkannya bukan hanya untuk melaksanakan rukun Islam kelima. Sesudah musim haji, ia bermukim di Makkah al-Mukarramah untuk belajar kepada alim ulama setempat. Selama 11 tahun, dirinya menjadi pelajar Madrasah al-Falah di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Di Masjidil Haram, ada banyak guru yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Di antaranya adalah Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib, dan Syekh Abdul Muqoddasi. Berbekal ilmu yang dipelajari dari para ulama itu, ia pun menjadi sosok pembelajar yang tekun.
Anwar Musaddad melepas masa lajangnya dengan menikahi Maskatul Millah. Wanita yang juga dikenal sebagai Nyai Hajjah Raden Atikah itu adalah putri KH Qurtubi. Pasangan suami-istri tersebut dikaruniai banyak anak. Dalam mendidik para buah hatinya, KH Anwar Musaddad menerapkan pola pendidikan yang disiplin dan sekaligus penuh kasih sayang.
Perjuangan
Akhir masa mukimnya KH Anwar Musaddad di Tanah Suci bertepatan dengan selesainya era kolonialisme Belanda di Indonesia. Kembali ke Tanah Air, ia menjadi pendakwah Islam yang dihormati seluruh lapisan masyarakat. Ulama ini pun memiliki banyak pengikut, terutama dari kalangan santri.
Perginya Belanda digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Dai Nippon menguasai Indonesia sebagai salah satu langkah memenangkan Perang Dunia II. Negeri Matahari Terbit pun menerapkan pelbagai kebijakan untuk memobilisasi dukungan penduduk tanah jajahan.
Salah satu cara Nippon adalah mendekati tokoh-tokoh lokal, termasuk para pemuka agama. Di Jawa Barat, KH Anwar Musaddad dan ulama-ulama lainnya diminta bantuan oleh Jepang untuk mengisi pos-pos administrasi. Ia pun diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama di Priangan.
Dengan menerima tawaran Jepang, para ulama tidak berarti kerja sama dengan penjajah. Justru, mereka memanfaatkan hal itu untuk memajukan kemampuan rakyat, khususnya dalam bidang kemiliteran.
Sebagai contoh, ketika Laskar Hizbullah terbentuk tokoh-tokoh agama Islam mengimbau santri untuk mengikuti latihan yang diselenggarakan. Tujuannya agar mereka kelak siap turut serta dalam membela Tanah Air dan mengusir penjajah.
Melalui dakwahnya, KH Anwar mulai memobilisasi guru, ulama, pandu, pedagang, hingga petani. Semua itu dilakuakn dalam upaya membangun semangat perjuangan. Para pemuda dikumpulkan untuk mendapatkan pelatihan militer.
Pada 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan RI dibacakan di Jakarta oleh Sukarno dan Mohammad Hatta. Dimulailah masa revolusi untuk mempertahankan kedaulatan negeri. Dalam beberapa pekan, datanglah NICA dengan membonceng Sekutu. Pihak Belanda ini hendak mengukuhkan kembali penjajahan atas Indonesia.
Pada masa revolusi, KH Anwar bersama dengan KH Yusuf Taujiri dan KH Mustofa Kamil memimpin Laskar Hizbullah. Mereka menyusun strategi dan kekuatan untuk melawan agresi Belanda. Salah satu palagan perjuangan mereka adalah Garut.
Sekitar 200 pemuda laskar menghadapi serangan pihak musuh. Pertempuran demi pertempuran berhasil dimenangkan, terutama dengan taktik gerilya. Salah satu kemenangan yang diraihnya adalah saat melawan Gurkha, pasukan Inggris yang diisi orang-orang dari India.
Bersama Laskar Hizbullah, Kiai Anwar Musaddad menerapkan pola serangan sporadis. Metode itu sering merepotkan pasukan musuh. Pada akhirnya, kisah heroik Laskar Hizbullah Garut itu terdengar ke berbagai wilayah penjuru negeri. Di antara mereka yang mengagumi patriotisme itu adalah Bung Tomo, pemimpin pergerakan arek-arek Suroboyo.
Dalam buku Biografi Prof KH Anwar Musaddad, Nina Herlina menuturkan persinggungan antara KH Anwar Musaddad dan kelompok yang hendak memisahkan diri dari RI. Sejak 1950, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo hendak mendirikan Darul Islam (DI). Gerakan ini kian menjadi bahaya bagi eksistensi negara.
Kiai Anwar Musaddad sempat diminta oleh Kartosoewirjo untuk bergabung dengan DI. Namun, ulama Garut tersebut menolaknya. Baginya, keutuhan negara Indonesia adalah suatu hal yang utama.
Pada 1953, Kiai Anwar Musaddad diminta oleh menteri agama RI saat itu, KH Fakih Usman, untuk mendukung pembentukan sebuah perguruan tinggi agama Islam (PTAIN) di Yogyakarta. Inilah cikal-bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang kini berkembang menjadi UIN Sunan Kalijaga.
Berangkat dari kesuksesan itu, Kiai Anwar pada 1967 ditugaskan untuk merintis IAIN Sunan Gunung Djati di Bandung, Jabar. Begitu institusi itu terbentuk, dirinya kemudian diangkat menjadi rektor pertama IAIN tersebut. Jabatan itu pun diembannya hingga tahun 1974.
Sejak 1976, sang alim mengasuh Ponpes al-Musaddadiyah di Garut. Bukan hanya dalam ranah pendidikan, kiprahnya pun tampak dalam lapangan politik. Ia tercatat menjadi anggota DPR-RI dari Partai Nahdlatul Ulama hasil pemilihan umum tahun 1955. Di lingkungan organisasi, dirinya juga menerima amanah sebagai wakil rais ‘am PBNU pada Muktamar NU di Semarang, Jateng, pada 1980.
Tawadhu dan Harmoni, Kunci Sukses Dakwah
“Seperti ilmu padi; kian berisi kian merunduk”. Kira-kira itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keteladanan KH Prof Anwar Musaddad. Seperti dikutip dari laman resmi UIN Sunan Gunung Djati, ulama tersebut selalu terbuka untuk belajar dari orang lain. Bahkan, aktivitas menyerap ilmu itu lebih intensif dilakukannya saat usia senja.
Baginya, menerima dan menyampaikan ilmu merupakan dua kewajiban generasi rabbani. Karena itu, Kiai Anwar Musaddad juga selalu siap dalam menyimak ceramah dan khutbah yang disampaikan orang lain, tanpa merasa risih sedikit pun.
Di samping itu, sang alim percaya bahwa dakwah akan efektif apabila dimulai dari diri sendiri dan orang-orang terdekat. Ini sejalan dengan pesan Alquran surah asy-Syu’ara ayat 214 yang artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” Begitu pula, surah at-Tahrim ayat enam, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Meskipun kesibukan dan jadwal kegiatannya penuh, Kiai Anwar Musaddad juga tetap mengajarkan berbagai ilmu keislaman kepada putra-putrinya. Dengan begitu, ia menunjukkan teladan cinta akan ilmu kepada mereka. Semangat belajar selalu ditumbuhkan dalam sanubari para buah hatinya itu.
Suasana damai dan harmonis pun betul-betul terasa di dalam keluarga Kiai Anwar. Semua persoalan yang muncul selalu diselesaikannya dengan baik dan penuh pengertian. Tak seorang pun anak-anaknya yang menyakiti ataupun disakiti olehnya. Semua putra-putrinya selalu merasa lega hati dan nyaman.
Bagi Kiai Anwar Musaddad, keharmonisan keluarga merupakan kunci utama untuk mewujudkan kesuksesan dakwah. Inilah prinsip yang selalu dipegangnya. Ia bercermin dari keluarga Nabi Ibrahim AS dan keluarga Imran.
Keselerasan pikiran dan kesatuan hati antara seluruh anggota keluarga merupakan hal yang amat penting. Sejarah Islam mencatat, betapa dakwah mungkin saja mendapatkan rintangan justru dari orang-orang terdekat. Lihatlah apa-apa yang dialami Nabi Nuh AS atau Nabi Luth AS. Bagaimanapun, dengan kesalehan mereka serta, khususnya, pertolongan Allah SWT, kendala-kendala itu dapat diatasi.
Sejak 1976, Prof KH Anwar Musaddad tinggal di Garut untuk mengasuh Pesantren al-Musaddadiyah. Lembaga ini membuka pendidikan mulai level sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pada 21 Juli 2000, sang ulama wafat dalam usia 91 tahun.
Sumber, Republika 04 September 2022