Assalamu ‘alaikum wr. wb.
NUBANDUNG.ID-Puasa Asyura (10 Muharram) dianjurkan oleh agama. Tetapi kita juga dianjurkan untuk berpuasa pada 9 Muharram (Tasu‘a) agar berbeda dengan umat Yahudi di masa lalu. Yang saya tanyakan, bolehkah kalau kita hanya mengamalkan puasa Asyuranya saja? Apakah ada keterangan agama perihal ini. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abdul Nasir/Bali).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dikutip dari Bahtsul Masail NU Online, Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Agama Islam menganjurkan dengan kuat agar kita berpuasa pada 10 Muharram atau yang dikenal dengan sebutan puasa Asyura. Keutamaan puasa Asyura begitu besar.
Allah subhanahu wata'ala akan mengampuni dosa setahun lalu orang yang berpuasa 10 Muharram. Masalah ini disinggung dalam Fathul Mu‘in karya Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari.
و) يوم (عاشوراء) وهو عاشر المحرم لأنه يكفر السنة الماضية كما في مسلم (وتاسوعاء) وهو تاسعه لخبر مسلم لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع فمات قبله والحكمة مخالفة اليهود ومن ثم سن لمن لم يصمه صوم الحادي عشر بل إن صامه لخبر فيه
Artinya, “(Disunahkan) puasa hari Asyura, yaitu hari 10 Muharram karena dapat menutup dosa setahun lalu sebagai hadits riwayat Imam Muslim. (Disunahkan) juga puasa Tasu‘a, yaitu hari 9 Muharram sebagai hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalau saja aku hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa tasu‘a.’ Tetapi Rasulullah SAW wafat sebelum Muharram tahun depan setelah itu. hikmah puasa Tasu‘a adalah menyalahi amaliyah Yahudi. Dari sini kemudian muncul anjuran puasa hari 11 Muharram bagi mereka yang tidak berpuasa Tasu‘a. Tetapi juga puasa 11 Muharam tetap dianjurkan meski mereka sudah berpuasa Tasu‘a sesuai hadits Rasulullah SAW,” (Lihat Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz II, halaman 301).
Agar berbeda dari kaum Yahudi di masa Rasulullah, kita juga dianjurkan untuk berpuasa pada 9 dan 11 Muharram. Pasalnya, kaum Yahudi saat itu hanya berpuasa pada 10 Muharram. Lalu bagaimana kalau kita entah karena sebab tertentu atau tanpa sebab sekalipun mengamalkan hanya puasa Asyura? Bagi mazhab Syafi’i, puasa Asyura saja tanpa diiringi puasa sehari sebelum dan sesudahnya tidak masalah.
وفي الأم لا بأس أن يفرده (أي لا بأس أن يصوم العاشر وحده
Artinya, “(Di dalam kitab Al-Umm, tak masalah hanya mengamalkan puasa Asyura saja) maksudnya, agama tidak mempermasalahkan orang yang hanya berpuasa 10 Muharram saja (tanpa diiringi dengan puasa sehari sebelum dan sesudahnya),” (Lihat Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I‘anatut Thalibin, Kota Baharu-Penang-Singapura, Sulaiman Mar‘i, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 266).
Keterangan ini bukan berarti menyamakan Muslim yang mengamalkan hanya puasa Asyura dan kaum Yahudi. Anjuran untuk berpuasa sehari sebelum dan sesudah Asyura bersifat penyempurnaan saja terhadap Asyura. Sedangkan Muslim yang mengamalkan hanya puasa Asyura saja itu sudah bagus. Kita tidak perlu menuduh mereka dengan sebutan “Muslim rasa Yahudi”, misalnya. Sudah bagus ia mau mengamalkan puasa Asyura, sunah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.