Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)
NUBANDUNG.ID-KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Pada 30 Desember 2019, peringatan haulnya telah menginjak angka 10. Di tengah kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis kebangsaan, jejak pemikiran dan perjuangannya sangat terasa dibutuhkan.
Salah satu jejak itu ialah perumusan keselarasan Islam dan Pancasila. Bersama Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu, KH Ahmad Shiddiq, Gus Dur adalah kreator keselarasan tersebut yang melahirkan Piagam Munas Alim Ulama di Situbondo, 1983.
Di dalam piagam itu, NU menerima kebijakan asas tunggal Pancasila karena alasan teologis, bukan politis. Karena, Pancasila merupakan cerminan tauhid dan syariah, tidak ada alasan warga NU untuk menolak Pancasila.
Jalan keluar
Bagaimana NU dan Gus Dur sampai pada kesimpulan ini? Dalam makalah yang dipaparkan di Seoul pada 25 Agustus 1990 bertajuk Islam and Pancasila: Development of a Religious Political Doctrine in Indonesia, Gus Dur merumuskan pandangannya.
Menurut Gus Dur, Pancasila justru merupakan doktrin politik religius yang sesuai dengan Islam. Nilai-nilai agama ini menyinari ruang publik bangsa melalui Pancasila.
Jika dianalogikan, Islam adalah tebu, sedangkan Pancasila merupakan “gula Sebagai agama yang turun dari Tuhan, Islam adalah sumber, tebu.
Namun, jika kita ingin membuat teh manis, haruskah tebu yang digunakan? Tentu saja gula, perasan dari tebu, yang kontesktual dengan kebutuhan.
Dalam kehidupan berbangsa yang memiliki konteksnya tersendiri, Islam menerangi bangsa melalui “saripati manis”-nya, yakni nilai-nilai Pancasila.
Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila yang bermahkota Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi jalan keluar dari dua kebuntuan.
Pada satu sisi, kebuntuan teokrasi yang menghendaki penegakan kedaulatan Allah (hakimiyatullah).
Jika penegakan Daulat Tuhan berarti legalisasi hukum Islam abad pertengahan minus nilai-nilai demokratik, sesuaikah sistem ini dengan semangat zaman modern? Sebab yang disebut Negara Islam ialah negara dimana sultan atau khalifah menjadi penafsir tunggal syariah.
Adapun wakil rakyat (ahlul halli wal ‘aqdi) hanya bertugas menasehati. Syura (parlemen) di Negara Islam bukan lembaga legislatif, melainkan konsultatif. Nasihatnya bisa diterima atau diabaikan sultan.
Di sisi lain, sistem demokrasi sekular juga buntu karena tidak mampu melihat kebaikan agama di ruang publik. Kehidupan publik bagi sistem ini harus imun dari agama, karena agama dianggap cerminan dari sektarianisme dan absolutisme kitab suci.
Bagi Gus Dur, dua kebuntuan ini dipecahkan oleh Pancasila karena beberapa alasan.
Pertama, Pancasila menempatkan ketuhanan sebagai sila pertama. Hal ini dekat dengan paradigma teokratis, tetapi minus penetapan syariah sebagai dasar negara.
Karena sila ketuhanan ini, syariah dilindungi oleh negara, meskipun dalam konteks undang-undang (qanun) bukan konstitusi (dustur).
Ketiadaan dimensi doktrinal dari agama tertentu membuat ketuhanan dalam Pancasila tidak mewakili sektarianisme, sebagaimana dikhawatirkan sistem sekular.
Mengapa? Karena ketuhanan yang ditegakkan Pancasila ialah nilai-nilai ketuhanan modern, berisi penghormatan terhadap kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Hal ini tentu tidak terlintas di benak kalangan sekular yang melihat Islam dari kesempitan pandangan kelompok radikal.
Kedua, nilai-nilai Pancasila ternyata mencerminkan nilai-nilai Islam.
Bagi Gus Dur, keagungan Islam di abad modern ini disebabkan oleh pandangan dunia (weltanschauung) yang dibangun oleh tiga nilai, yakni demokrasi (syura), keadilan (‘adalah), dan persamaan (musawah).
Demokrasi merujuk pada kehidupan politik non-otoriter. Keadilan mengacu pada pemerataan ekonomi, dan persamaan merujuk pada kesetaraan warga di hadapan hukum.
Pandangan dunia yang sangat modern ini berangkat dari tugas kenabian Muhammad SAW sebagai penebar rahmat (QS Al-Anbiya’:107). Gus Dur memaknai rahmat bukan hanya kasih sayang yang abstrak, melainkan kesejahteraan.
Ketiga, karena Islam adalah “agama kesejahteraan”, maka bentuk suatu negara menjadi urusan sekunder, ketika bentuk itu bisa mencapai tujuan kesejahteraan.
Dalam hal ini Gus Dur menggunakan kaidah tujuan dan cara pencapaian (al-ghayah wa al-wasail). Selama sebuah tujuan bisa dicapai maka bentuk dari cara menjadi sekunder, tentu dengan catatan cara itu tidak bertentangan dengan tujuan.
Hukum kerahmatan
Cara pandang seperti ini harusnya dimiliki pula oleh Muslim yang lain. Terlebih untuk menganggapi kampanye hitam yang dikembangkan trans-nasional Islam atas Pancasila.
Ketika tujuan negara menurut Imam al-Mawardi adalah menjaga agama dan mengatur dunia (hirasah al-dini wa siyasah al-dunya), pemahaman substantif atas hal ini harus dikedepankan.
Artinya, agama yang ingin ditegakkan ialah hukum kerahmatan Tuhan. Dari sinilah menjadi terpahami alasan Gus Dur menggunakan makna jihad menurut Syekh Ali bin Muhammad Arsyad al-Banjari dalam I’anah al-Thabilin (1298 H).
Dalam kitab tersebut, jihad bukan bermakna perang, melainkan pemenuhan hak-hak dasar atas umat yang dilindungi (daf’u dlarari ma’shum). Siapakah yang harus dilindungi? Semua warga termasuk non-Muslim.
Dalam rangka perwujudan kerahmatan ini, yang dibutuhkan tentulah Negara Pancasila, bukan negara agama yang despotik.
Menurut Gus Dur, hanya negara inklusif seperti Negara Pancasila yang bisa menaungi terpenuhinya “Pancasila” (ushul al-khams) dari tujuan syariah, yakni perlindungan atas agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta.
Oleh karena itu, fungsi negara sebagai penegak hukum Tuhan harus dipahami secara substantif melalui tekanan pada visi kerahmatan, baik yang terdapat dalam akidah (teologi), syariah (hukum), maupun akhlak (amal etis).
Kini, sepuluh tahun sudah Gus Dur berpulang ke Rahmatullah. Warisan pikiran tersebut semestinya menjadi modal bagi keagungan Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar yang demokratis.
Kompas, 7 Januari 2020, 07:17 WIB