NUBANDUNG.ID — Tjetjep Supriadi merupakan dalang wayang golek sohor dari Karawang, Jawa Barat, terutama pada era 1970-an. Tatar Sunda beruntung punya dalang wayang golek yang sangat “panjeg dina galur” seni tradisi meski perubahan zaman dari waktu ke waktu bergulir sangat cepat.
Mereka, para dalang kahot itu, hampir seluruh hidupnya dibaktikan untuk kesenian wayang golek. Salah satunya dalam sohor sekaligus dalang senior Tjetjep Suprijadi.
Mencari informasi profil atau biografi lengkap guru wayang Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya ini di laman google sangat sulit. Kalaupun ada, informasinya hanya setengah-setengah alias kurang komplet.
Mengutip sundamediachannel.blogspot.com, Tjetjep Supriadi lahir di Karawang, Jawa Barat, pada 1931. Nama aslinya adalah Tjetjep, sedangkan Supriadi adalah nama yang ditambahkannya sendiri di belakang nama aslinya karena kekagumannya kepada pahlawan PETA yang bernama Supriadi.
Sebenarnya dia masih keturunan darah biru atau keturunan menak. Nenek moyangnya adalah bangsawan yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda.
Akibat dari tidak mau kerja sama itu, anak keturunannya yang menanggung akibat. Keluarganya dikucilkan dan beberapa hak sosial dan intelelektualnya dipasung. Salah satunya keluarga tidak boleh mengenyam pendidikan.
Dari tekadnya yang kuat maka sejarah keturunan dan kebangsawanan itu disembunyikan untuk bisa mengenyam pendidikan.
Ketertarikannya akan wayang bisa dibilang agak terlambat karena Tjetjep Supriadi belajar wayang ketika dia sudah menjadi seorang guru.
Termotivasi dari rendahnya mutu pendramaan dan sastra pedalangan wayang golek yang tidak berkembang, Ki Tjetjep Supriadi menggali sastra Jawa Kuna untuk meningkatkan mutu sastra bahasa terutama untuk antawecana dan kawih.
Dia adalah seorang dalang yang memegang teguh pakem dan “paugeran” pedalangan yang baku. Tjejep Supriadi dikenal sebagai dalang wayang golek purwa Sunda yang sangat populer atau sohor di Jawa Barat dan DKI Jakarta pada dekade 1970-an sampai 1980-an.
Selain sering menggelar pentas wayang golek di berbagai kota di Jawa Barat, Tjetjep Supriadi juga mendalang untuk rekaman kaset dengan hasil penjualan yang cukup baik.
Dialah salah seorang dalang yang sangat selektif dalam menerima siswa. Walaupun banyak juga yang mengaku sebagai siswanya hanya karena berguru melalui rekaman kaset atau menonton pertunjukannya.
Namun, dia merasa bangga jika ada dalang-dalang muda yang mengaku banyak belajar dari pakelirannya. Salah satu siswa yang dibina dan kini menjadi seorang dalang yang sedang menanjak prestasinya adalah puteranya sendiri yakni Eka Tjetjep Supriadi.
Tjetjep Supriadi cukup unik dan kreatif. Ada beberapa lakon yang pernah digubahnya. Salah satu lakon gubahannya yang sangat populer adalah “Nurkala Kalidasa”. Lakon itu terinspirasi dari pertengkaran suami isteri di sebuah kendaraan umum.
Masalah yang dipertengkarkan itu sangat menyentuh rasa kemanusiaan. Kemudian Tjetjep Supriadi mengubah lakon itu dengan menyelipkan ajaran-ajaran kemanusiaan yang banyak merujuk pada ajaran agama Islam dan nilai-nilai budaya luhur Sunda.
Tjetjep Supriadi merupakan salah seorang yang sangat hormat pada orang tuanya. Ketika akan menapaki dunia pedalangan, sang ibulah yang diminta restu untuk pertama kali. Ketika mendapatkan amplop (bayaran) pertama sebagai dalang, sang ibu pula yang disuruh membukanya.
Pernah suatu ketika ayah dari Tjetjep Suprijadi sedang ada di pasar. Ketika itu Tjetjep Supriadi sebagai seorang dalang dengan kendaraan sedannya yang baru.
Ayahnya berusaha menghindar karena khawatir anaknya yang sedang dalam masa puncaknya itu malu bertemu. Hal itu dilakukan karena dirinya sedang dalam pakaian sebagaimana orang di pasar.
Namun Tjetjep Supriadi dengan sigap mengejar sang ayah yang berusaha menghindarinya. Kemudian menggendongnya masuk ke dalam mobilnya yang mewah pada zamannya.
Dalang yang belajar secara otodidak ini juga pernah menjadi anggota DPRD Tk II Karawang. Selain itu, pernah juga menjadi guru SD di medio 1954 hingga 1963.
Dalam organisasi pewayangan Tjetjep Supriadi menjadi anggota Dewan Kebijaksanaan Sena Wangi dan anggota Dewan Penasihat PEPADI.
Tjetjep Supriadi yang mendalang sejak 1967 ini juga pernah menerima Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republika Indonesia.***