NUBANDUNG.ID - Masjid Cipari berada di Wanaraja ini didirikan pada masa Kolonial Hindia Belanda, tepatnya tahun 1936. Pendirinya adalah K.H. Yusuf Taudziri.
Batas-batas masjid sekarang, di sebelah Utara adalah Kampung Pinggirsari dan Kampung Tegalkiang Kecamatan Sukawening. Di Selatan adalah Kampung Babakan Cipari dan Kampung Ci Kecamatan Pangatikan.
Sementara itu, Barat adalah Pasar Karangsari Kampung Cimaragas dan pesawahan Kecamatan Pangatikan, dan di sebelah Timur adalah sawah dan makam Kecamatan Sukawening.
Masjid ini selain berfungsi sebagai mesjid dan pesantren, pada zaman kolonial digunakan sebagai tempat latihan perang, pertahanan, dan berdirinya PSII cabang Garut.
Pada zaman kemerdekaan, Masjid Cipari, sering dijadikan sebagai basis latihan tentara pejuang dan dapur umum. Di zaman pemberontakan DI/TII dijadikan tempat pengungsian, perawatan pejuang yang terluka ketika kembali dari hijrah ke Yogyakarta, tempat perlindungan para pejuang dan keluarganya, dapur umum, serta latihan perang.
Pada zaman G30S/PKI dijadikan tempat perjuangan melawan PKI, tempat pertemua para ulama, pertahanan dan perlindungan, serta dapur umum. Sekarang berfungsi sebagai masjid dan madrasah.
Santri Garut Melawan Kartosoewirjo
Masjid dengan gaya arsitektur art deco yang selintas mirip dengan bangunan gereja itu menjadi saksi bisu perjuangan, salah satunya saat para santri bersama Kiai Yusuf Tauziri melawan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Kedekatan antara keduanya berawal antara tahun 1931 dan 1938, saat Kiai Yusuf Tauziri berada dalam Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Keduanya adalah teman berdiskusi soal agama maupun politik di Pesantren Cipari. Namun karena berbeda pandangan maka keduanya pun akhirnya saling berperang dan bermusuhan.
Masjid Cipari lokasinya berada di lingkungan pesantren. Pada masanya, di zaman kolonial Belanda, masjid tersebut digunakan sebagai latihan perang, tempat pertahanan pejuang kemerdekaan, hingga dapur umum.
Di masa pemberontakan DI/TII, Masjid Cipari juga menjadi tempat pengungsian, perlindungan, dapur umum, latihan perang, hingga perawatan pejuang yang terluka saat kembali dari Yogyakarta. Pada zaman pemberontakan PKI atau G30S/PKI, masjid juga menjadi tempat perjuangan melawan PKI, pertemuan para ulama, pertahanan dan perlindungan, dan dapur umum.
Saat ini, Masjid Cipari memiliki fungsi sebagai tempat beribadah dan mengaji para santri dan masyarakat sekitarnya. Masjid tersebut kini dimakmurkan oleh keluarga dari pesantren Cipari.
Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Asy-Syuro, Dadang Priatna mengatakan bahwa Masjid Cipari dirancang oleh adik dari HOS Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso. Menurutnya, masjid itu dirancang tahun 1933 dan pembangunannya selesai tahun 1936.
Sebelum merancang bangunan masjid, Tjokroaminoto menurutnya datang langsung ke Cipari bersama adiknya lalu kemudian merancang dan membangun.
"Pada saat itu masyarakat merasa heran dengan struktur bangunan masjid yang menyerupai gereja, terutama pada bagian menara. Namun desain bangunan tersebut terlihat mirip dengan bangunan Eropa atau gereja karena sosok Abikoesno itu mungkin mengetahui khas arsitek-arsitek dari Belanda," kata Dadang.
Pembangunan masjid dengan luas 75 x 30 meter itu, dijelaskannya, dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong. Tanah tempat masjid dibangun adalah wakaf dari Ajengan Bustomi yang masih keluarga Pesantren Cipari. "Kalau biaya lebih banyak dari Almarhum Haji Sambas Bayongbong," jelasnya.
Dadang mengungkapkan bahwa masjid Cipari menjadi saksi perjuangan para santri bersama Kiai Yusuf Tauziri melawan DI/TII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Hingga saat ini, di menara masjid Cipari masih terlihat bekas-bekas peluru yang ditembakkan oleh pasukan DI/TII yang kini sudah disamarkan.
"Memang kalau ada serangan DI/TII warga-warga sekitar pasti ke masjid ini ngungsinya dan di menara itu para pejuang memantau pergerakan dari pasukan Kartosoewirjo," ungkapnya.
Kartosuwiryo, awalnya merupakan sahabat dekat dari Kiai Yusuf Tauziri namun kemudian hubungan keduanya retak karena diajak melawan pemerintahan Soekarno, dan pergi ke gunung melawan secara gerilya melawan pemerintah.
Kiai Yusuf Tauziri menolak ajakan makar dari sahabat sekaligus teman seperjuangannya itu sebanyak dua kali, yang pertama tahun 1945 dan yang kedua tahun 1948.
Dalam pandangan Kartosoewirjo, pemerintahan Soekarno tidak memihak Islam sehingga mengajak Kiai Yusuf Tauziri mengkudeta pemerintahan yang sah. Langkah itu dilakukan karena ajaran HOS Tjokroaminoto harus berdasarkan Syariat Islam.
"Waktu itu Kiai Yusuf Tauziri tidak setuju didasari oleh kondisi Indonesia yang telah merdeka dan memiliki negara yang sah. Kemudian Kiai Yusuf Tauziri sempat menasehati dengan kalimat tidak diperbolehkan membuat negara di dalam negara, melainkan mengajak mengisi kemerdekaan dengan syariat Islam," ungkapnya.
"Pak Kartosuwirjo mengungkapkan bahwa mulai detik itu ia bermusuhan dengan Kiai Yusuf Tauziri. Mungkin karena dendam itulah mereka menyerang masjid ini," tambahnya.
Berdasarkan data yang dihimpun merdeka.com, masjid Asy-Syuro diserang dua kali oleh DI/TII. Penyerangan terjadi pada 17 April 1952 dan 5 Agustus 1952 dan menyebabkan puluhan orang meninggal dunia. Dalam penyerangan itu, rumah-rumah warga dibakar sehingga kemudian masjid menjadi tempat berlindung.***