Pada Januari 1923, Lucy Trail masih berniaga bunga di Dagoweg 16. Sumber: De Preanger-bode, 9 Januari 1923. |
Oleh. ATEP KURNIA
NUBANDUNG.ID - Akhirnya ketemu juga riwayatnya. Pasalnya, saya penasaran dengan nama L. Trail yang terpaut dengan usaha sapi perah dan bunga di Dago. Itu sebabnya, saya akan menyampaikan dulu data L. Trail itu, disambung temuan riwayat hidupnya.
Namanya terus mengemuka antara 1902-1904 dalam De Preanger-bode (DP). Ia mengiklankan susu sapi murni, yang bila berlangganan per botol setiap bulannya seharga f. 6 (“Verkrijgbaar zuivere Koemelk, 's maands a f 6 - de flesch”). L. Trail dalam rentang itu masih menggunakan alamat Merdika-weg (DP, 9 Juni 1902 dan 15 Januari 1904).
Pada saat yang hampir sama, Trail mengiklankan usaha bunganya, menggunakan alamat Merdika (DP, 6 Desember 1902). Bahkan dalam edisi 16 Januari 1904, usaha sapi perah dan bunganya diiklankan secara bersamaan dalam satu kolom (“Verkrijgbaar: Versche Koemelk alsook bouquetten, kransen enz. bij Mevr. de wed. TRAIL”). Alamatnya masih Merdika.
Lokasi persis usaha sapi perah milik L. Trail mengemuka dalam berita merebaknya wabah di peternakan miliknya yang ada di Desa Balubur, pada tahun 1908. Wabah tersebut berupa penyakit kaki dan mulut. Trail sempat berkonsultasi dengan dokter hewan pemerintah P. Ph van der Poel dan dinyatakan wabahnya sudah tidak ada (edisi 29 September dan 13 Oktober 1908). Tetapi, konon, muncul lagi (DP, 13 Oktober 1908).
Di sisi lain, usaha bunganya turut menyemarakkan acara parade bunga (bloemencorso) di Alun-alun Bandung pada 28 Agustus 1909. Penyelenggaranya Soekaboemische Landbouw Vereeniging. Selain Nona Trail, yang menyediakan bunganya ada Nyonya Witbols Feugen, Nyonya Clark, dan lain-lain (DP, 10 Agustus 1909).
Namun, entah bagaimana, sebelumnya, seraya menggunakan alamat Dagoweg No. 6, L. Trail menyewakan rumah modal pada Oktober 1908 (DP, 13 Oktober 1908). Bahkan, dua tahun kemudian, dari rumahnya di Dagoweg, Nona Trail melelang seluruh hewan ternaknya, termasuk sapi perah, pada 25 Juli 1910 (DP, 11-13 Juli 1910).
Agaknya itulah akhir usaha Trail dalam peternakan sapi perah. Sementara usaha bunganya terus bertahan, paling tidak hingga 1941. Antara 1913 hingga 1918, ia masih menggunakan Dagoweg No. 6 dan No. 8 sebagai alamat usahanya dalam usaha bunga semua genre (DP, 8 April 1913 dan 12 April 1918).
Pada 3 Oktober 1922, L. Trail termasuk yang mengikuti fancy fair yang diselenggarakan De Roemer Visscher Vereeniging, bersama pengusaha bunga lainnya, yaitu Bloemenhandel Cobet dan Bloemenhandel Andir (DP, 8 Oktober 1922). Ini jadi salah satu penanda di Bandung sudah sejak lama banyak pengusaha bunga. Karena selain ketiga perusahaan itu, antara lain ada Bloemenhandel Tegallega milik L. Doeve sejak 1914 (DP, 21 Desember 1914) dan Bloemenhandel Lotus yang didirikan oleh bekas manajer di Bloemenhandel Trail, L. Altmann-Diepenheim (DP, 31 Desember 1923).
Sebagai bukti bahwa di Bandung banyak pengusaha bunga dapat dilihat dari Telefoongids Bandoeng (Januari 1936). Di situ tertulis ada 23 bloemenhandel (usaha bunga) yaitu Abundantia (Bragaweg 49), Astra (Bragaweg 65a), Arti (Lembangweg 151), Benny (Groote Postweg Oost 248), De Bonte Ruiker (Goentoerlaan 30), Braga (Bragaweg 34), Chrysanthemum (Lembang), Daisy (Bragaweg 69), Good Luck (Groote Postweg West 133), Juliana (Cimahi), Lotus (Bragaweg 58), Mary (Gang Coorde 6), Orchideeën en bloemenkweekerij Nova (Lembangweg K.M. 9), Passer Baroe Oost (Groote Postweg West 93a), Prana (Westhofweg 19), Ramasarie (Poengkoerweg 146), Ria (Tamblongweg 13), Rona of Corona (Dagoweg), Siantan Bloemisterij (ABC-straat 39), Tandjoeng-Sarie (Nassaulaan 54), Tegallega (Tjiateulweg 31), Tjisaroea (Cimahi), dan Veldzicht (Cimahi).
Di buku nomor telepon itu, nama Trail tidak ada. Namun, dari Adresboek van Bandoeng (1941) namanya tercantum sebagai Mej. M.L. Trail sebagai bloemiste (floris, ahli bunga) dengan alamat di Dagoweg 16. Di buku alamat yang sama masih tertulis adanya Bloemenhandel Abeel (Tamblongweg 31) dan Bloemenhandel Ria (Tamblongweg 13).
Alhasil, dari situ, saya mencurigai L. Trail dalam DP antara 1902 hingga 1923 itu sebenarnya bernama M.L. Trail. Tapi, apa nama lengkapnya? Ternyata kuncinya saya dapatkan dari buku Hidup Tanpa Ijazah (2008: 388-390) karya Ajip Rosidi, plus kabar Duta Masjarakat (27 Juli 1965), Warta Berita (15 Februari 1966), dan Algemeen Handelsblad (22 September 1966).
Ajip mengulangi pemberitaan Madjalah Sunda (No. 52, 25 Agustus 1966; No. 57, 5 November 1966). Di situ dikatakan barang-barang antik Nona Lucy Trail “dikehendaki” oleh Ny. Hartini Sukarno. Lucy Trail dikatakan saat itu berusia 85 tahun, karena dilahirkan pada 1881, di Semarang. Ayahnya orang Inggris dan ibunya Belanda. Dia punya beberapa rumah di Jalan Dago dan ratusan barang antik. Rumahnya terlepas karena diakali Prof. Nyoo Hong Hwie. Hartini menginginkan koleksi barang antik milik Nona Trail itu sejak Maret 1965.
Dalam Duta Masjarakat (27 Juli 1965), diwartakan tentang Maan (45 tahun, pembantu rumah tangga) yang didakwa oleh Nyonya Nyoo Hong Hwie telah mencuri 700 gram emas milik Nona Trail. Selama proses pemeriksaan oleh polisi, Maan jadi tuli dan setelah diperiksa terbukti ia tidak bersalah. Akhirnya, ia balik mendakwa Nyonya Nyoo Hong Hwie.
Sementara dari Warta Berita (15 Februari 1966), diketahui nama lengkap Nona Trail, yaitu Lucy Mary Trail (85 tahun). Dalam kesaksiannya ia menyatakan “tidak pernah menghibahkan harta kekajaannja kepada Prof. Dr. Njoo” dan “Sepandjang pengetahoeannja ia tidak pernah memberi idzin kepada Prof. Njoo untuk membongkar rumahnja jang terletak di djalan Ir. Hadji Djuanda (Djl. Dago, dulu). Dikatakannja ia, bahwa Nn. Trail tidak pernah mendengar akan dibuatkan rumah oleh Prof. Njoo”.
Itulah akhir kisah Nona L. Trail alias Lucy Trail, sang pengusaha sapi perah dan bunga dari Dago. Selama hidupnya, ia tidak menikah, ia ditipu habis-habisan oleh orang yang mengaku-aku anak angkatnya, dan koleksi berharganya raib tanpa nasib yang jelas.
Dari uraian di atas juga dapat menangkis kesan negatif dalam sebutan “Bandung sebagai Kota Kembang”, yang diartikan konotatif. Padahal, sejatinya, sejak dirintis Ulrich Teuscheur pada paruh kedua abad ke-19, Bandung memang dikenal sebagai sentra bunga di Hindia. Dan itu terus berlangsung hingga tahun 1930-an dan 1940-an, termasuk di daerah Dago.
*Peminat literasi dan budaya Sunda.