Menurut Kontrolir Van Hoorn, sebelum 1889, di Bandung hanya ada satu pabrik tapioka. Sumber: TNLNI, Deel XLVII, 1894.
Oleh. ATEP KURNIA
NUBANDUNG.ID - R.A.A. Martanagara menulis dalam memoarnya (Babad Raden Adipati Aria Maria Nagara Regent Pansioen Bandoeng di Soemedang, 1923: 37-38) “Harita fabriek sampeu ngan aja hidji di Dago, anoe bogana bangsa Tjina. Tjatoerna toekang fabriek ngaloearkeun atji sampeu ka Batawi dina sataoen, pangreana ngan oekoer 200 pikoel tapioca”.
(Saat itu pabrik [penggilingan] singkong hanya satu di Dago, yaitu milik seorang Tionghoa. Konon, pemilik pabrik mengeluarkan tepung singkong ke Batavia, dalam setahun paling banyak hanya 200 pikul).
Soalnya, maksud “saat itu” itu kapan dan siapakah Tionghoa yang memiliki pabrik tapioka di Dago? Sebelum menjawabnya, saya akan mengulas keadaan industri singkong di Bandung berdasarkan tulisan J.C. Keller van Hoorn (“Bereiding van Cassavemeel in de Afdeeling Bandoeng”, dalam Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indie, TNLNI, Deel XLVII, 1894).
Intinya, dalam tulisan bertitimangsa “Bandoeng, April 1893”, itu, Kontrolir J.C. Keller van Hoorn menyatakan sebelum 1889, di Bandung hanya ada satu pabrik tapioka dan hanya membeli umbinya saja. Warga bumiputra belum menguasai produksi tapioka, hanya pabrik-pabrik cukup air saja yang dapat menggerakkan kincir air yang berat, sementara sisanya hanya membeli tepungnya saja.
Seorang pemilik pabrik, yang sangat dekat ke tempat pembelian karena berada di tengah-tengah kebun singkong, sementara pembeli lainnya di Dago berjarak 5 pal dari pesaingnya, hanya membatasi usahanya dengan menyiapkan bubur tepung basah dan menjualnya ke pabrik lain.
Ini artinya, hingga 1894 saat Van Hoorn menulis, paling tidak ada dua pabrik tapioka di Bandung, yang dapat dibilang berdekatan. Satu di Dago sementara yang lain berjarak dari 5 pal atau 7,5 kilometer dari Dago. Soalnya, pabrik siapakah yang pertama dan berada di Dago itu? Untuk menjawabnya saya menelusuri jilid pertama Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie (RA) antara 1884 hingga 1888.
Pada RA 1884 eerste deel, saya mendapati nama Tan Oetan yang mengusahakan singkong di Afdeling Bandung. Untuk tahun 1885 masih sama, baru pada tahun 1886 keterangannya jadi bertambah dengan nama Thio Oetan, Ondernemingen Tjitepoes, Afdeling Bandung, dan tahun 1887 bidang usaha Thio Oetan di Tjitepoes menjadi “cassave en koffiepelmolen” atau penggilingan singkong dan penggilingan kopi.
Ini mengandung arti, bisa jadi pabrik tapioka yang pertama di Bandung, sebagaimana dimaksudkan Van Hoorn adalah milik Tan Oetan atau Thio Oetan dan posisinya berada di Citepus.
Lalu, sejak kapan di Dago ada pabrik tapioka sebagaimana dimaksudkan Martanagara dan Van Hoorn? Karena saya mendapati dalam RA 1895 eerste deel, di Tjisitoedago, Thio Oetan mendirikan pabrik penggilingan padi (“rijstpelmolen”). Beruntung, saya menemukan berita pendirian pabrik tapioka “Soekamadjoe” (“Tapioca-fabriek Soekamadjoe”) dalam De Locomotief edisi 15 Desember 1899.
Di situ dikatakan, Thio Oe Tan mendirikan “Tapioca-fabriek Soekamadjoe” dengan modal 50.000 gulden, yang dipecah menjadi 100 saham dan masing-masing seharga 500 gulden. Tujuannya untuk mengusahakan pabrik tapioka, di Disrik Ujungberung Kulon, Afdeling Bandung.
Lokasi “Tapioca-fabriek Soekamadjoe” dapat saya ketahui berkat berita De Preangerbode edisi 24 Februari 1917. Dalam berita dikatakan, para pemilik “Tapioca-fabriek Soekamadjoe”, yang berlokasi di antara Desa Cisitu dan Desa Dago, Distrik Bandung, Afdeling Bandung, diizinkan menggunakan air dari jaringan pipa Cibengkok untuk membangkitkan listrik di pabrik.
Alhasil, pabrik tapioka Soekamadjoe itu di antara Cisitu dan Dago, sehingga disingkat Cisitudago dan barangkali merupakan perubahan dari yang semula pabrik penggilingan padi, yang juga dimiliki Thio Oetan.
Kepemilikan pabrik tapioka di Distrik Ujungberung Kulon – yang berubah menjadi Distrik Bandung – beserta pabrik tapioka lainnya di Bandung, antara lain dijelaskan oleh Kontrolir H.C.H. de Bie dalam tulisannya, “De Cultuur van Cassave in de Preangerregentschappen en het Gebruik, dat van dit Gewas door de Bevolking Wordt Gemaakt en hare Verwerking tot Tapioca-Meel” (Teysmannia, Elfde Deel, 1901: 295).
Kata De Bie, di Afdeling Bandung ada lima pabrik penggilingan singkong, yaitu di Klenteng, sekitar ibu kota Afdeling Bandung dan dimiliki oleh NIH Maatschappij; di Cikawao yang dimiliki Letnan Tionghoa Tan Djoen Liong; di Dago dan di kota Distrik Ujungberung Kulon dimiliki oleh Thio Oetan; di Cijalupang, Distrik Ujungberung Wetan, dimiliki oleh Letnan Tionghoa Tan Djoen Liong; dan di Cibabat, Distrik Cilokotot, dimiliki oleh Lim Sim Tjaij.
Bila demikian halnya, berarti Thio Oetan memiliki dua pabrik tapioka, yaitu di Citepus dan Dago. Artinya lagi, yang dimaksudkan Tionghoa pemilik pabrik tapioka di Dago oleh Martanagara dan Van Hoorn tiada lain Thio Oetan, yaitu “Tapioca-fabriek Soekamadjoe”.
Pabrik tersebut memperoleh nomor telepon sejak 1901, yaitu nomor 197, menurut laporan Preanger Telefoon-Maatschappij Afdeeling Bandoeng (De Preangerbode, 9 November 1901). Selain itu, penanda “Soekamadjoe” masih saya dapati dengan kata “meelfabriek” di antara daerah Lebaklarang dan Coblong dalam peta Bandoeng (1905, DG 15,7).
Dalam peta Bandoeng (1905), pabrik tapioka Soekamadjoe milik Thio Oetan ditandai dengan kata “meelfabriek”. Sumber: DG 15,7. |
Betapapun, tidak pula menutup kemungkinan adanya pabrik tapioka lainnya di Dago. Karena dalam De Preangerbode edisi 10 September 1903 diwartakan ada dua orang warga Kota Bandung yang berencana untuk membangun pabrik tapioka di jalan arah ke Dago (“dat twee stadgenooten van plan zijn een atji-fabriek te bouwen op den weg naar Dago”).
Namun, yang terang, dengan keadaan alamnya yang masih banyak berupa tegalan dan sawah, daerah Dago pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 merupakan daerah yang sangat potensial untuk dijadikan kebun singkong.
*Peminat literasi dan budaya Sunda.