NUBANDUNG.ID – Dalam kaidah usul fikih disebutkan bahwa adat istiadat atau budaya dapat menjadi sumber hukum (al-‘adat muhakkamah).
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Arab Saudi Nur Fajri Romadhon mengatakan bahwa kaidah ini memposisikan budaya dan adat istiadat sebagai sumber hukum yang diakui agama.
Oleh karena itu, aturan dan tradisi yang sesuai dengan syariat bisa menjadi sebuah hukum atas kasus tertentu.
“Namun perlu ditekankan di sini bahwa adat istiadat yang bisa dijadikan sumber hukum itu syarat utamanya ialah tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah,” tegas alumnus King Abdulaziz University, Arab Saudi, ini seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Rabu (16/03/2022) siang.
Contoh penggunaan adat istiadat sebagai sumber hukum ialah penentuan mahar untuk istri. Dalam Islam, seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan wajib memberikan mahar atau mas kawin.
Mahar tersebut jika tidak ditentukan pada saat akad nikah dikembalikan kepada adat budaya setempat untuk menentukan ukurannya.
Contoh lain dapat dikemukakan yakni masalah pemberian nafkah kepada keluarga. Menurut Islam, kepala rumah tangga wajib memberikan nafkah keluarga yang dipimpinnya.
Namun, Islam tidak menentukan besarannya. Hal itu diserahkan kepada kemampuan si kepala keluarga tersebut dan adat budaya yang berlaku di daerah tempat tinggalnya.
Bertentangan dengan syariat
Contoh budaya yang bertentangan dengan syariat ialah syair-syair yang dilantunkan orang-orang jahiliah dahulu yang mengandung unsur-unsur kemusyrikan.
Ketika Islam datang, melantukan syair tetap dibenarkan. Namun, tentu saja tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama, seperti kemusyrikan, bidah, dan hal-hal yang membantu kezaliman.
“Budaya yang bertentangan dengan Islam dapat diperbaiki kualitasnya sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya, syair yang dahulu mengandung unsur syirik diubah menjadi syair yang mengandung nilai-nilai tauhidi, dan usaha wali songo dalam memodifikasi kesenian wayang,” ujar Nur Fajri.
Sementara itu, adat budaya hasil cipta karsa manusia yang secara terang-terangan mengandung unsur-unsur kemusyrikan, bidah, khurafat, takhayul, kezaliman, dan hal-hal negatif lainnya, harus ditundukkan kepada ajaran Islam. Bukan sebaliknya.
Mengapa hal tersebut penting? Lantaran budaya merupakan hasil ciptaan manusia, sedangkan nash-nash syariat tidak mungkin mengandung unsur kebatilan.
Karakteristik kebudayaan dalam Islam ialah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah.
Kemudian dapat meningkatkan keimanan dan tidak mengandung unsur kemusyrikan. Lalu menghasilkan kebajikan, menambah ingat kepada Allah, membuat pencerahan peradaban, dan tidak menyebabkan perpecahan.*** (FA)