Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung)
NUBANUNG.ID - Berbagai tantangan dan hambatan kerap kali datang menghampiri untuk menghalangi jalan niatku mencari dan menggali sebuah ilmu. Jauh dari kampung halamanku, jarak waktu yang ditempuh membawa semangat untuk meraih asa dan cita-cita.
Iringan doa tulus penuh ikhlas dari Ayah dan Bunda tak pernah berhenti, bukti tanda kasih dan sayangnya senantiasa terasa hingga saat ini. Mereka tidak peduli dengan lelah dan capek, banting tulang kesana kemari hanya untuk bekal studiku.
Mereka rela menahan lapar dan dahaga demi terkumpulnya biaya dan dana agar studiku lancar, bahkan rasa malu sudah tidak ada dalam kamus hidup orang tuaku agar studiku tetap lancar hingga tuntas.
Justeru, pada saat yang bersamaan manakala orang tua berjibaku memikirkan kelancaran dan kesuksesan anaknya, kita dan beberapa teman selama studi sering lupa apa yang seharusnya dilakukan sebagai anak.
Kebanggaan orang tua ketika studi sarjana usai, jadwal wisuda senantiasa ditunggu orang tua karena berharap dapat melihat kita memakai toga wisuda. Kita semua pun sama, kebahagiaan mendekat hingga tak terasa air mataku terurai sedih kebahagiaan, selalu teringat bagaimana liku-liku belajar bersama teman selama 8 (delapan) semester lebih.
Teringat ketika tawa canda di asrama dan kamar kost bersama teman. Selalu aku ingat dosen-dosen yang sering membuat bete dan kesal dengan tugas yang mengganggu hari-hari mainku masa muda, namun itu semua terlewati tanpa terasa.
Terlihat wajah tak ramah dosen kadang kerap kali teringat, namun ada juga yang selalu memberi senyum. Tetap saja yang kami harap nilai akhirku lulus dan memuaskan, begitulah sehari-hari selama studi di kampus universitas pilihanku.
Kenangan demi kenangan manis tak pernah terlupakan, wajah-wajah teman dan sahabat selama empat tahun lamanya sebentar lagi akan berpisah. Hari ini di toga wisuda bersama dengan orang tua masing-masing, berusaha membahagiakan orang tua walaupun sesaat.
Sesekali ada yang menggelayut dalam benakku, ada hal yang lebih memberatkan dari sekedar studi. Beban belajar selama studi sarjana masih ada toleransi dan tugas kuliah dari dosen dikerjakan semampu yang dapat dikerjakan.
Yang penting semuanya terpenuhi untuk sebuah nilai kelulusan dalam huruf dan angka. Namun, setelah di wisuda beberapa hari berikutnya tantangan dan hambatan akan berlipat ganda di banding selama belajar di kampus tercinta.
Banyak pesan dari dosen yang terngiang di telinga kira-kira seperti ini ungkapanya, "anda semua saat ini belajar banyak toleransi ketika berbuat salah, namun besok lusa setelah lulus berbuat kesalahan akan ada konsekuensi fatal bagi anda".
Berharap banyak dalam kondisi situasi saat ini, kami memahami disrupsi membuat aspek dan bidang kehidupan kian menantang adrenalin. Peluang kerja di peruasahaan semakin kecil, kampus menekankan kami untuk tidak banyak berharap besar untuk mendapatkan kerja melainkan harus merintis usaha walaupun kecil-kecilan.
Sementara orang tuaku, sepertinya berharap setelah lulus segera mendapatkan kerja begitulah tradisi keumuman orang tua saat ini. Katanya era ini milik generasi milenilal, situasi kondisi pelayanan kebutuhan serba digital dan instan.
Dimana tempatku belajar, di situ banyak pengalaman berbeda ketika semasa di sekolah menengah atas atau madrasah aliyah, kemandirian mulai dipupuk dan kebebasan serta kemerdekaan berfikir diuji.
Pesan-pesan khusus dari dosen pun tak ketinggalan, di antara yang teringat selain kemampuan dan keahlian bidang keilmuan program studi yang di pilih, ada penjelasan dan penegasan yang menjadi tuntutan di era disrupsi revolusi industri 4.0 atau pun 5.0 manusia harus memiliki karakter technopreneur yang islami.
Titik tekan karakter khas tersebut, kami harapkan setelah lulus mampu membaca dan menganalisis peluang dan kesempatan menjadi ruang berekspresi dan beraktualisasi diri menjadi seorang kreator dan inovator di bidang keilmuan yang di dalami.
Kami di minta memiliki kemampuan mendulang nilai material dari segala hal ihwal potensi yang ada untuk di jadikan dunia usaha dengan memanfaatkan perangkat sistem informasi dan teknologi digital terkini.
Ada beberapa karakter seorang techopreneur yang Islami, dalam diskusi dikelas pada matakuliah al Islam dan kemuhammadiyahan atau islamic technopreneur.
Pada saat itu membahas indikator dan kriteria seorang muslim yang berjiwa technopreneur di antaranya, 1). Memiliki kemampuan cepat mengambil keputusan cepat; 2) Berfikir terbuka dan fleksibel; 3). Berani ambil resiko; 4). Memiliki motivasi tinggi; 5). Pandai mengelola kondisi stres; 6). Gigih dan tak mengenal lelah; 7).Fokus pada target dan tujuan yang di capai.
Karakter tersebut di awali niat ikhlas dan berharap menjadi skill lunak yang mampu keluar dari berbagai halangan dan rintangan yang muncul kapan saja.
Semoga tidak lama menunggu, setelah lulus mampu menjadi sosok lulusan dan alumni yang berperan aktif menjadi seorang kreator penggerak dan inovator pembaharu di masyarakat, efeknya berharap menjadikan peristiwa tersebut menstimulasi diri menjadi pengusaha pun tidak terlewatkan.
Memang tidak mudah menjadi penggerak dan pembaharu, namun bukan berarti tidak dapat di lakukan manakala optimisme ada, juga selama kita memiliki kemauan dan semangat yang tinggi pasti ada jalan menuju Roma.
Al-hasil, semua bersimpuh dihadapan Ilahi Sang Penguasa Semesta, peluk dan cium tanda kasih sayang pada orang tua yang banyak berkorban jiwa dan raga demi anaknya. Hari ini bahagia, semoga menjadi tanda dan spirit masa depan lebih cerah. Amiin, wallahu 'alam.
Bandung, Desember 2022