NUBANDUNG.ID – Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh pada Senin (7/11/2022) di Istana Negara, Jakarta. Kelima tokoh tersebut telah diseleksi melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Joko Widodo meresmikan anugerah gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh tersebut melalui Keputusan Presiden RI Nomor 96 TK Tahun 2022.
Mereka adalah KH. Ahmad Sanusi dari Jawa Barat, DR. dr. H.R. Soeharto dari Jawa Tengah, Paku Alam VIII dari DI Yogyakarta, Dr. Raden Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat, dan Haji Salahuddin bin Talabuddin dari Maluku Utara.
1. KH. Ahmad Sanusi
Dalam perjalanan perjuangannya, KH. Ahmad Sanusi memimpin dan melakukan langkah-langkah politik melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Oeh karena fatwa-fatwanya, ulama yang dikenal sebagai Ajengan Genteng ini dianggap menentang pemerintah.
Akibatnya, ia sering kali dihukum dan menjalani tahanan kota. Ulama kelahiran Sukabumi, 18 September 1888 ini juga dikenal sebagai pambaharu dalam pendidikan Islam.
Pada masa pendudukan Jepang, ia aktif dalam mendirikan pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan Sukabumi. Pada 1944, ia diangkat menjadi anggota BPUPKI.
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, KH. Ahmad Sanusi diangkat sebagai anggota KNIP dan ikut serta hijrah ke Yogyakarta setelah Perjanjian Renville.
2. dr. H.R. Soeharto
dr. H.R. Soeharto adalah lulusan Bataviase Geneeskundige Hoogeschool (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Pada 1942, ia dipercaya sebagai dokter pribadi Soekarno yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia.
Dalam kiprahnya di dunia kedokteran, DR. dr. H.R. Soeharto dipercaya oleh Mohammad Hatta untuk mengelola poliklinik yang melayani kesehatan khususnya tukang becak.
Saat itu, pada masa pendudukan Jepang, jumlah tukang becak yang dilayani sekitar 6.000 orang. Selain itu, DR. dr. H.R. Soeharto mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Kesehatan Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Dokter kelahiran Tegalgondo, Klaten, 24 Desember 1908 itu ditunjuk sebagai Ketua/Wakil Ketua Fonds Kemerdekaan Indonesia (FKI). Tak hanya itu, ia juga adalah salah satu pemrakarsa berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan penggagas Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
3. KGPAA Paku Alam VIII
Paku Alam VIII berinisiatif meminta izin untuk berkantor di Kepatihan bersama Hamengku Buwono IX. Inisiatif tersebut dilakukan karena ia menyadari adanya upaya adu domba oleh pihak Jepang.
Salah satu maksudnya tentu agar dapat bekerja sama menghadapi Jepang dan tidak mudah dipecah-belah. Bagi bangsa Indonesia, sejak saat itu, peran Paku Alam VIII dan Hamengku Buwono IX di awal kemerdekaan sangatlah penting.
Pada 27–29 Desember 1945, pasukan NICA melakukan operasi militer di Jakarta. Oleh karena terjadinya krisis keamanan tersebut, Hamengku Buwono IX menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara kepada Presiden Soekarno, disertai jaminan keamanan.
Paku Alam VIII dan Hamengku Buwono IX telah menempatkan Yogyakarta sebagai jantung perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
4. Dr. Raden Rubini Natawisastra
Raden Rubini Natawisastra yang lahir di Bandung, 31 Agustus 1906, lulus dan berhak menyandang gelar Indsche Artsen pada 7 Juli 1930. Ia diangkat menjadi dokter pegawai negeri Gouvernement Indisch Arts dan bekerja di Rumah Sakit Pusat CBZ Batavia (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo).
Karier kedokteran Rubini dimulai di Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak. Ia menjalankan misi kemanusiaan dengan menjadi dokter keliling melayani pengobatan di daerah terpencil dan pedalaman Kalimantan Barat.
Pada praktiknya, Rubini melayani semua kalangan masyarakat tanpa membeda-bedakan status. Di sana, ia pun berjuang menurunkan angka kematian ibu dan anak saat melahirkan dan persalinan secara tradisional.
Di dunia politik, bersama Partai Indonesia Raya (Parindra) Komisariat Daerah Kalimantan Barat ia memperjuangkan kemajuan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan.
5. Haji Salahuddin bin Talabuddin
Haji Salahuddin bin Talabuddin pindah ke Salawati, Raja Ampat pada 1916 dan menikah serta menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut. Ia menyatukan umat Islam untuk melawan penjajah. Namun, aktivitas tersebut tidak disukai oleh Polisi Belanda di Salawati.
Setelah menjalani pengasingan di Sawah Lunto lantaran difitnah membunuh anak angkatnya, Haji Salahuddin berjuang melalui organisasi yang dibentuknya—Syarikat Jamiatul Iman Wal-Islam (SJII).
Ia menyuarakan perjuangan anti-Belanda pada murid dan para pengikutnya. Namun, perjuangannya terhenti setelah ia dijatuhi hukuman mati pada 1948. Dengan tangan terikat, ia berteriak: “Hidup Islam, Hidup Sarekat Islam, Hidup Republik Indonesia, Allahu Akbar!”.