Sumber Gambar: inimahsumedang.com
NUBANDUNG.ID - Kata “Reak” berasal dari kata “Reog” yang merujuk pada kesenian Reog Ponorogo. Kesenian reak merupakan salah satu pertunjukkan seni yang sangat khas, yaitu sebuah kombinasi antara musik khas Sunda dengan tarian dan aksi-aksi yang ekstrim oleh kuda lumping (istilah orang yang menari dengan menaiki kuda-kudaan yang terbuat dari kulit binatang) dan ada juga penari yang mengenakan kostum bangbarongan yang seram.
Kostum bangbarongan tersebut terbuat dari karung goni dan kayu yang dipergunakan sebagai kepala bangbarongan, serta tali rapia sebagai rambutnya. Alat musik yang dipergunakan antara lain, gong, suling, kendang, kentungan, terompet khas Sunda lengkap dengan sinden yang menyanyi sepanjang pertunjukkan.
Kesenian reak berasal dari daerah tatar Sunda, yaitu beberapa daerah yang ada di Jawa Barat, seperti Sumedang, Bandung Timur, Karawang, Subang, dan sekitarnya. Kesenian ini konon berasal dari Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang.
Asal muasal terciptanya kesenian reak bertujuan untuk menarik perhatian anak laki-laki yang sudah masuk usia khitan agar bersedia untuk melaksanakan kewajiban tersebut dengan diadakannya kemeriahan kesenian reak setelah mereka selesai dikhitan. Dan memang hingga saat ini, kesenian reak banyak diselenggarakan di acara-acara khitanan.
Sebagian juga menyebutkan bahwa kesenian ini berasal dari peninggalan Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Sumedang Larang yang dipentaskan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas panen yang melimpah.
Pertunjukkan reak dilakukan dengan diarak keliling kampung dan pada akhir acara dilakukan di lapangan terbuka agar bisa dinikmati oleh banyak penonton yang ingin menyaksikan keunikan pertunjukkan tersebut.
Sebelum dimulai, ada seseorang yang dipercaya sebagai pawing atau pemimpin jalannya pertunjukkan reak. Dia bertugas untuk menyiapkan sesajen dan berdoa agar diberikan keselamatan dan kelancaran saat acara berlangsung.
Musik yang mengandung unsur mistis dimainkan dengan nyaring. Maka, mulailah para penari kuda lumping kerasukan jin atau kesurupan.
Hal tersebut tambah menegangkan dengan adanya aksi yang sangat ekstrim dari si penari kuda lumping dengan memakan beling atau pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, berjalan diatas beling, dan aksi-aksi lain yang membuat penonton merasa tegang.
Kekebalan tubuh para penari tersebut didapatkan dari “ruh” yang sudah menguasai tubuh para penari. Diakhir acara, para penari yang kesurupan akan disadarkan kembali dan ruh yang ada didalam tubuhnya dikeluarkan oleh pawang.
Itulah salah satu kesenian warisan nenek moyang yang harus kita jaga kelestariannya. Pertunjukkan unik nan mistis dari tatar Sunda yang dapat menarik perhatian masyarakat luas.
Oleh karena itu, sebagai generasi muda, kitalah yang memmiliki tanggungjawab untuk tetap membuat kesenian-kesenian dari daerah kita masing-masing selalu eksis dan tidak diakui oleh bangsa lain.