Lingkungan seakan berubah menjadi neraka bagi anak-anak. Rentang masa perkembangan yang mestinya dipenuhi keceriaan-kegembiraan, berganti dengan atmosfer kecemasan dan ketakutan. Ketika anak-anak diliputi hal itu, ancaman kehancuran dunia tengah menanti di hadapan. Maka, menciptakan lingkungan yang menentramkan buah hati adalah keniscayaan tak nisbi.
Sebab, tanpa situasi tentram dan tenang sebagai manifestasi sisi kemanusiaan kita di dunia; anak(ing) akan merasa tertekan sehingga berakibat pada terganggunya perkembangan jiwa. Bahkan, sampai pada tercorengnya sisi kemanusiaan anak. Jangan heran jika pribadi anak di masa mendatang akan memantulkan laku yang dijibuni nirkemanusiaan. Ia akan berubah menjadi warga yang keras, tidak toleran, pendendam, dan antisosial. Tentunya generasi bangsa seperti inilah yang tidak kita harapkan kehadirannya.
Akan tetapi, hal di atas tak harus kita atasi dengan cara-cara yang tak manusiawi, misalnya, dengan cara membunuh anak secara fisik, seperti yang dilakukan masyarakat di masa jahiliyah dulu. Bahkan, yang lebih parah lagi, adalah membunuh mereka secara psikis. Ini yang paling berbahaya dan harus kita redam. Sebab, modus operandinya nyaris tak terlihat. Pendidikan yang tak memihak anak miskin, menyemrawutkan situasi perekonomian, melakukan praktik korupsi paruh waktu dan tindakan asusila plus laku amoral lainnya.
Ya, bangsa kita saat ini tengah tergerus pada zaman yang menganut laku lampah yang meniadakan sisi kemanusiaan. Dalam pendidikan, umpamanya, kualitas hanya ditentukan oleh angka-angka yang rawan manifulasi atau penipuan dan eksploitasi atau kecurangan. Bahkan saking meumeut-nya bangsa ini pada angka, sampai-sampai biaya memasuki sekolah juga gede-gede alias mahal. Akibatnya, harapan dan cita-cita anak(ing) yang terkategori miskin terkubur hidup-hidup karena tidak mampu secara ekonomi. Ini imbas dari kebijakan tak manusiawi saya pikir!
Falsafah Anak(ing)
Sebagai urang Sunda pituin, saya kira soal pendidikan yang kian tergerus pada peniadaan rasa empati sosial dalam setiap diri pejabat Negara atau sekolah, adalah cermin dari kemiskinan memahami falsafah anaking. Secara etimologis, anaking merupakan gabungan dari anak dan (a)ing yang berarti anak saya, yang semestinya dijaga, dididik, dan dimanusiawikan. Itu semua akan terwujud andaikan "pelayanan publik – salah satunya pendidikan – dapat diakses oleh pelbagai kalangan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak harta yang dimiliki, namun, seberapa mampu ia mengatasi soal-soal ujian masuk. Kalau toh ada seorang anak(ing) miskin yang lulus dan masuk, diharapkan pihak sekolah dapat meringankan beban ekonomi yang setiap hari mereka gulati dan geluti. Sebab dengan bersekolah, mereka akan lebih piawai memanusiawikan laku lampah. Tentunya jika proses pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi dihayati dan diamalkan sehingga bisa mentranformasi paradigma atas hidup (shift paradigm) secara progresif dan konstruktif.
Kembali kepada falsafah "anaking". Makna di dalam kata ini, tentunya memantulkan ajaran luhung untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dalam hidup, sehingga setiap anak kendati bukan sakeseler (seketurunan) akan diperlakukan sama oleh kita. Dengan mengakui bahwa anak tetangga kita adalah "anaking", merupakan wujud dari keberfungsian sisi empati kita sebagai manusia yang mesti manusiawi. Maka, ketika kebijakan Negara tidak mampu mengangkat nasib anak-anak yang putus sekolah, umpamanya, itu adalah sebuah pengkhianatan atas warisan kata "anaking".
Kata ini juga secara kontekstual memuat penanda bahwa setiap anak bangsa adalah anak kita semua, sehingga tak arif dan jahat rasanya ketika mereka menangis dan merasa terancam oleh perilaku pembunuhan secara psikologis kepada anak-anak. Apalagi pada pekan yang lalu kita sempat dihebohkan oleh kejadian mutilasi anak sebelas tahun yang menyayat rasa kemanusiaan kita; betapa anak-anak sangat rentan dengan ketidaknyamanan lewat ancaman kekerasan dari manusia yang tidak manusiawi.
Pelanjut bangsa
Dari sisi sumber daya manusia, anak adalah seorang generasi penerus keberlanjutan suatu bangsa dan kelompok strategis yang harus diperhatikan agar mereka dapat hidup tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai mereka berumur 18 tahun. Saat ini dengan jumlah sekitar 68 juta atau 30 persen penduduk adalah mereka yang berusia sebelum 18 tahun, sangat memerlukan perhatian yang tidak sekadar tertuang dalam bentuk peringatan rutin tahunan.
Akan tetapi,mereka sangat mengharapkan bahwa orang tua atau bapak bangsa di Indonesia memiliki rasa kemanusiaan, hingga nasib mereka tidak terhijabi oleh mahalnya biaya sekolah, karut-marut perekonomian negeri, dan merajalelanya nirpenghargaan terhadap kejujuran dalam tubuh birokrat.
Oleh karena itu, negeri Indonesia, sangat membutuhkan kehadiran pemimpin yang peduli terhadap anak. Sebab, eksistensi kader masa depan pemimpin bangsa berasal dari anak, dan sangat strategis untuk dijadikan pabrikasi manusia yang membenci perilaku tak manusiawi. Jumlahnya juga, saat ini menduduki sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia . Banyak bukan? Maka tak heran jika Rachmat Sentika berseloroh asyik: "Kegagalan dalam mengelola anak, berarti gagalnya sebuah generasi penerus bangsa". Anak adalah mustika atau mutiara yang sering kita cari untuk dijadikan tumpuan berharap atas membaiknya Indonesia ke depan.