Sepulang dari sekolah, kaset Iwan Fals itu, langsung saya putar kamar. Terdengar, dengan gaya suaranya yang khas, ia memainkan nada petikan gitar, sangat terasa lagu ini menyayat tubuh. Namun, saya hanya terpukau waktu itu dan mulailah menyimpan lagu ini dalam daftar playlist (memori otak).
Ribuan kilo jalan yang kautempuh/Lewati rintang untuk aku anakmu/Ibuku sayang, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah/Seperti udara kasih yang engkau berikan/Tak mampu kumembalas, ibu..ibu//Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu/Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu/Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku/Dengan apa membalas ibu?//
Tujuh tahun kemudian saya sudah lulus kuliah di salahsatu universitas di Bandung. Kebetulan, teman sepermainan suka lagu-lagu Iwan Fals dan sering ia putar di tempat kami tinggal: kosan. Selain menyentuh perasaan, lagu Iwan Fals memang bernada kritik sosial kepada rezim pemerintah.
Setidaknya, faktor itu yang saya temukan ketika begitu sering mendengarkan dengan teman satu kosan. Anehnya, setiap saya mendengarkan lagu berjudul Ibu, sontak hati saya selalu tergetar dengan lirik petiknya. Kadang, bulu kuduk meringkak. Saya ingin berteriak, “Ibu, ampuni dosa-dosanku!” sambil bersimpuh di tepalak kakinya. Betapa badungnya anakmu ini! Begitulah kiranya ketika saya merenungkan lirik dari Bang Iwan Fals-sapaan akrab penyanyi legendari Indonesia ini.
Oleh karenanya, lagu berjudul Ibu, menurut saya tidak hanya membuka mata untuk melihat luasnya cakrawala tentang ibu, tapi menembus dan menyingkapkan mata hati. Beneran? Coba saja kita simak lirik-liriknya.
“Ribuan kilo jalan yang kautempuh/ lewati rintang untuk aku anakmu”. Betapa pun, lirik sangat metaforis. Ketika membaca/mendengar lirik ini, imaji saya membayangkan betapa seorang ibu sudah berjalan jauh untuk anaknya: mengais matahari setiap hari untuk satu bungkus nasi; mengandung selama sembilan bulan, memberi air susu (bukankah air susu ibu itu keren?).
Saya melihat dari lirik ini, ribuan kilo itu, bukan hanya berjalan dari rumah ke kantor, dari pasar ke tempat pengajian, tapi gugusan waktu yang terlewati, ribuan kilometer itu ruang dan waktu yang dilewati dengan telaten dan sabar. Tidak lupa, sembari harus mengasuh anak-anaknya.
Dilanjutkan “lewati tintangan untuk aku anakmu”. Nyata, setiap hidup pastilah ada rintangan. Apa rintangannya? Begitu banyak sekali, dari permasalahan sandang, pangan; ekonomi sampai persoalan pendidikan dan agama (kepercayaan).
Tidak berhenti sampai di situ, pada lagu ini, liriknya berkata “Ibuku sayang, walau tapak penuh darah penuh nanah” lirik ini sangat keren karena memakai gaya bahasa yang hiperbolik untuk menggambarkan sosok seorang perempuan yang berjalan berkilo-kilo tanpa lelah meskipun kakinya sudah berdarah dan penuh nanah.
Apakah kamu bisa membayangkan jika ada adegan ini dalam situasi yang nyata? Pasti dari kejauhan, kamu akan segera mengulurkan tanganmu kepadanya. Lalu mengambitnya dan berkata, “sudahlah berhenti dulu, naikklah ke pundakku, agar kau bisa beristirahat dan kita mulai lagi perjalanan yang jauh ini.”
Tentu ini adalah sebuah imajinasi dari lirik itu. Pasalnya, lirik itu membubuhkan atau memberi sesuatu yang “berlebihan” untuk menggambarkan betapa “kesusahannya” para ibu untuk berjuang agar anaknya mampu menghirup nafas kebahagian, walau kakinya penuh darah dan nanah. Betapa nanar, kita bayangkan kedua kaki ibu.
Dengan penambahan majas simile, lirik ini sangat keren, “seperti udara kasih yang kabuberikan”. Pengandaian ini sangatlah pas. Kita tahu bahwa udara tak henti-hentinya dihirup oleh manusia tanpa batas, itulah kasih ibu kepada anaknya: tak terhingga. Dilanjutkan dengan lirik yang nyata bahwa “aku tak mampu aku membalas”. Serius, saya belum (atau tidak bisa membalas?) kasihmu ibu. Kita dituntut untuk bertanya, harus memalas dengan apa kepada ibu? Harta, tahta? Ah tentu tidak akan cukup, apabila dibandingkan dengan pengorbanannya.
Dari lirik itu, saya teringat seloroh nenek, “Bahwa belum tentu seorang anak akan selalu memperhatikan ibu mereka, tapi seorang ibu, sampai kapan pun akan menaruh perhatiannya sampai mati!” Bolehlah dikatakan seloroh nenek saya itu dapat diamini dengan merelasikannya dengan lirik lagu di muka.
Namun, sebadung-badungnya seorang anak, ia akan tetap rindu pada ibunya. Ini pula yang disuarakn lirik “Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu/Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu/Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku”.
Pada titik ini, izinkan saya untuk merujuk pada perkataan seorang filsuf Perancis, Jean Baudrilard “Ketika yang nyata tidak sudah ada, maka nostalgi memberikan makna secara adanya” begitu katanya. Lirik ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu, sampai aku tertidur bagai masa kecil dahulu.
Dengan demikian nostalgi pada lirik ini memberi kita sesuatu yang membuat kangen di tengah hirup pikuk dunia yang jumud. Mungkin kita manja sekali seaktu kecil, sampai-sampai diusapi kepala diberi doa dan tertidur pulas; menangis jika tidak dipenuhi keinginan oleh sang ibu.
Saking sayangnya, ia lalu membaluri tubuh kita dengan doa-doa. Setiap inci dari tubuh kita disusupi doa-doa darinya; setiap darah yang mengalir adalah darahnya. Bahkan, ia selalu berdoa untuk kita. Ah, aku adalah doamu ibu! Namun, di akhir liriknya diberi pertanyaan: Dengan apa membalas ibu? Pada titik ini pula, saya tidak bisa menjelaskannya. Sumpah mati, saya belum bisa menerangkan, menjelaskan, membuat sistematika tentang pertanyaan ini.