NUBANDUNG – Sebagai makanan tradisional, surabi memang sudah teruji. Selain soal cita rasa, mampu bersaing dengan aneka penganan lain. Bahkan, penggemar kudapan sedap ini terus bersemi dari hari ke hari.
Seakan sudah menjadi tradisi, surabi lazim diniagakan setiap pagi. Mereka yang terjun di bisnis ini memulai aktivitasnya setelah terbit fajar hingga pagi. Sebagian lain ada yang membuka usahanya menjelang senja hingga tengah malam, tepatnya dini hari.
Dalam dua dekade terakhir, surabi juga sudah masuk menu andalan di kafe-kafe. Jadinya, kudapan ini tak melulu dijual di lapak atau kios pinggir jalan dan sudut gang. Cita rasa klasiknya yaitu oncom dan polos bersama kinca. Belakangan, hadir pula varian topping kekinian semisal cokelat, keju hingga sosis.
Apa yang terkandung di dalam kudapan ini sebetulnya amat sederhana. Bahan dasarnya tepung beras. Adapun adonannya terdiri dari santan, kelapa parut, dan garam.
“Bahan utamanya adalah tepung beras. Karena itu, tepung beras berkualitas baik yang harus dipilih. Selain rasa, juga menentukan aroma,” kata Ibrahim, pegiat bisnis jajanan tradisional di seputaran Jalan Cihapit Kota Bandung.
Menurut dia, kunci lainnya terdapat pada komposisi bahan dan pengolahan. Karena itu, cara membuat adonan menjadi tak kalah penting. Begitu pula saat dimatangkan dalam cetakan, api harus dibikin stabil.
Diolah dari bahan-bahan berkualitas baik, tanpa pengawet dan betul cara mengolahnya, sebetulnya makanan ini mampu bertahan sepanjang hari. Asalkan, kata Ibrahim, surabi yang sudah matang harus dibiarkan terlebih dahulu beberapa saat secara alami. Jangan langsung dibungkus apalagi untuk disimpan dalam jangka waktu agak lama.
Tepat, surabi lebih sedap disantap selagi hangat. Seperti penggalan lirik lagu yang dipopulerkan Bungsu Bandung. “Surabi haneut … mangga cobian!”