Oleh: Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung.
Apakah Pedagang Kaki Lima (PKL) tergolong dalam usaha mikro? Secara ekonomi tentu ia. Bahkan jumlahnya sangat signifikan. Tengoklah berbagai kota di Indonesia, ciri khasnya antara lain PKL.
Di Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan seluruh kota, baik kota besar dan kecil di Indonesia dipenuhi oleh PKL. Bahkan di negara lain pun, seperti Thailand misalnya, demikian adanya.
Di Bandung misalnya, begitu banyak pusat jajanan pinggir jalan yang jika malam tiba dipadati oleh pengunjung. Bahkan jajanan pinggiran yang itu dilakukan oleh PKL merupakan bagian dari pariwisata, karena dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung. Di Malioboro Yogyakarta juga, akan lebih asyik jika makan malam di pinggiran sambil menikmati suasana kota.
Dari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel.
Sebagai antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar. Perlawanan pemodal kecil dengan pemodal besar yang mampu membangun pusat pertokoan di berbagai lokasi strategis, tentu dengan biaya mahal.
Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tentu saja, ada simbiosis mutualisma antara konsumen dengan PKL. Dengan demikian, pemerintah sebagai pelayan masyarakat, seharusnya bukan mengobrakabrik PKL, namun seharusnya memberdayakannya.
Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak kegairahan budaya, ekonomi dan pariwisata suatu kota. Bahkan bukan sekedar penyemarak, PKL adalah penanda (icon) suatu kegiatan perkumpulan, pesta dan kerumunan masa.
Lihat saja, pasar tumpah yang terjadi diberbagai sudut kota di hari minggu, dimana masyarakat banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian tertentu. Di Bandung, itu terkonsentrasi di Gasibu dan tempat lainnya.
Dari sisi regulasi, keberadaan PKL yang makin menjamur dan dinilai mengganggu ketertiban umum itu mencerminkan ketidakpastian aturan yang ditetapkan dan bermainnya oknum-oknum aparat yang menikmati jasa keamanan.
Argumentasi inilah yang dipergunakan aparat pemerintah untuk membubarkan PKL. Jika dilihat dari sisi teologi, keberadaan PKL jika itu dinilai mengganggu ketertiban umum, tentunya tidak dibenarkan oleh ajaran agama sekalipun.
Meski demikian, membubarkan dan mengejar-ngejar PKL di suatu lokasi, sementara di lokasi lain tidak dilakukan juga tentu bukan suatu kebijakan yang tepat.
Terlebih jika pembubaran itu dimaksudkan untuk memuluskan kepentingan pemodal (investor) yang akan mendirikan pusat perbelanjaan, mengingat di lokasi tersebut telah terkonsentasi masa, jelas itu perbuatan yang tidak bermoral.
Di atas itu semua, sesungguhnya diperlukan kebijakan komprehensif dan berkelanjutan untuk menangani dan memberdayakan PKL. Argumentasinya jelas, landasan konstitusional pemberdayaan PKL diatur oleh kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.
Faktanya, pelaku usaha PKL adalah mereka yang secara ekonomi lemah. Menjadi PKL demi untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, bukan untuk memperkaya diri. Dengan demikian, keberadaan PKL harus dijaga dan diberdayakan. Pemberdayaan itu dilakukan dengan beberapa langkah.
Pertama, melakukan edukasi soal aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, disatu sisi dibubarkan, di sisi lain diminta setoran, maka selama itu PKL akan ada. PKL adalah wajah kebobrokan oknum aparat keamanan dan ketertiban negara.
Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus diorganisir. Kepentingan diorganisir adalah agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba.
Selama ini, pengorganisasian itu lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisir itu.
Kedua, bagi PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum, sebaiknya terus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. PKL yang dilokalisir di daerah tertentu, dengan keunikannya yang khas, akan bisa menjadi primadona pariwisata.
Ketiga, edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikkelaskan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omsetnya ratusan ribu naik kelas menjadi ratusan juta. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan.
Keempat, konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemda harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakan ekonomi masyarakatnya lebih baik.
Bukan sebaliknya, dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemda harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan memang selama ini banyak pembeli yang datang.
Namun harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun oleh kelompok PKL yang diorganisir. Sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.
Selama ini, penolakan pemindahan yang dilakukan PKL karena lokasi yang ditawarkan selalu bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah harus berpihak kepada PKL.
PKL usianya sama dengan usia keberadaban manusia yang mulai mengenal pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Jadi, secara antropologis, PKL adalah kebudayaan ekonomi yang telah lama usianya dan penting bagi kehidupan manusia.
Jika demikian, yang penting adalah memberdayakannya, bukan membubarkannya. Karena, PKL pun harus makan, punya anak dan istri yang tiada lain adalah anak bangsa yang harus hidup layak.