Penulis Asep Dudinov AR, Owner @fathanabuku
Dalam kalender akademik, tengah tahun pertama sekolah biasanya akhir tahun pelajaran. Rangkaian ujian akhir diselenggarakan. Kelulusan diadakan. Dan endingnya adalah kelas terakhir di setiap tingkatan akan memasuki jenjang yang baru.
Mereka, terutama siswa-siswi SMA/MA/SMK yang lulus tahun ini segera bersiap memasuki dunia kampus yang sama sekali berbeda dengan sekolah. Apakah semuanya akan berkuliah?
Oh, tentu tak semuanya masuk perguruan tinggi. Hanya sebagian saja. Sebagian lagi bekerja. Sebagian gap year dulu merehatkan pikiran setelah selama 12 tahun bersekolah dari SD-SMA/MA/SMK. Sebagian lagi barangkali ada yang berpikir ke KUA saja. Hehehe.
Kalau ditanya, sih agaknya sebagian besar ingin melanjutkan kuliah sebagai modal mobilitas sosial secara vertikal. Namun, apa daya pendanaan besar yang meliputi bayar UKT dan biaya hidup pendukungnya harus dipikir ulang. Apalagi kuliah di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang, Solo, Malang, dan Surabaya yang sudah pasti orangtuanya mesti merogoh kocek dalam-dalam.
Tak semua siswa bernasib baik seperti Mohammad Hatta, salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia. Hatta muda selepas lulus sekolah menengah dagang Prins Hendrik School di Batavia, tak khawatir tentang kelanjutan pendidikannya.
Dukungan sosialnya sudah kuat. Filosofi Minang "Anak dipangku, kemenakan dikunjung" amat dirasakannya. Adalah Mak Etek Ayub, selaku paman Hatta yang menjamin Hatta bisa melanjutkan studi ekonomi di Rotterdam, nun jauh di Belanda. Dengan sokongan itu, Hatta bisa tenang belajar dan berjuang di Perhimpunan Indonesia.
Pun tak banyak yang bernasib mujur seperti Sandiaga Salahudin Uno (kini Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif). Bang Sandi begitu biasa ia dipanggil, setelah tamat SMA di Jakarta langsung berangkat ke Amerika menunaikan sarjana S1 dan S2-nya secara kaffah. Realitasnya sudah barang tentu tak banyak seperti Bung Hatta dan Bang Sandi. Lebih banyak yang berjibaku semangat kuliah dengan segala keterbatasannya.
Ketika kuliah dulu, sebagian teman ada yang memiliki profesi sampingan selain sebagai mahasiswa. Tukang kue donat, penjual buku, menulis artikel di media massa, "pengrajin" beasiswa karena sering ke bagian Tata Usaha menanyakan slot yang masih tersedia, dan banyak lagi.
Yang penting, kuliah terus lanjut apa pun caranya dan halal. Memang biaya kuliah itu, apalagi tahun-tahun belakangan ini, tak bisa dianggap enteng. Belum lagi supporting kuliahnya seperti kontrak kamar dan kebutuhan sehari-hari.
Nah, bagi mereka yang tahun ini bercita-cita kuliah, berikut ini solusi mensiasati beban biaya hidup selama menuntut ilmu di kampus yang kamu dambakan:
Pertama, cari dan tinggallah di asrama daerah.
Biasanya di kota-kota besar, hampir selalu ada asrama yang disediakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) bagi mahasiswa perantauan. Tentu saja kita tak terlalu risau dengan pembiayaan tempat tinggal.
Mungkin ada iuran bulanan yang tak terlalu besar, itu pun diperuntukkan bagi kepentingan internal. Keuntungannya, kita bisa bergaul dengan satu daerah dan kultur yang seragam. Soal makan, satu magicom rame-rame alias bareng-bareng.
Kedua, jadilah penghuni di sekretariat himpunan jurusan.
Setelah kita melakukan registrasi di kampus, akan ada banyak kakak tingkat mengantarkan kita ke sekretariat himpunan jurusan. Modusnya: kaderisasi. Nah, itulah salah satu alternatif tempat tinggal di kampus.
Apakah hal seperti ini masih ada? Mudah-mudahan ada, sih ya. Logistik keseharian? Tak usah risau. Dulu, seorang kawan yang kebetulan adik tingkat, benar-benar memanfaatkan sekretariat sebagai rumah pertamanya, sejak pertama menginjak kampus, hingga hari terakhir wisuda.
Ketiga, jangan sungkan bergiat di salah satu organisasi esktra kampus atau minimal sanggup ringan tangan di sekretariat organisasi itu.
Tak sedikit organisasi yang bisa dipilih untuk diikuti. HMI silakan. IMM monggo. PMII boleh. GMNI oke-oke saja. Nah, organisasi mahasiswa ekstra kampus tersebut pastilah punya tempat nongkrong, rapat, dan debat.
Adapun sewa sekretariat biasanya, sih sudah dibayar oleh senior-senior, abang-abang, atau rakanda minimal selama setahun. Adinda-adinda tinggal masuk saja dan memanfaatkannya secara maksimal. Tapi ingat, kalau abang-abang ada keinginan harus siap menunggu arahan.
Keempat, ini agaknya mesti memerlukan kepiawaian dan keahlian.
Kalau ada kesempatan menjadi marbut masjid, ambillah. Tapi jangan cuma numpang hidup saja. Memakmurkan masjid adalah yang utama. Mengumandangkan azan, mempersiapkan properti pengajian, dan menjaga kebersihan masjid adalah sebagian tugas utama itu.
Jadi, tak perlu ragu untuk berkuliah, ya! Kamu mesti cari peluang dan kesempatan yang agar selama ngampus tetap hidup hepi dan bermanfaat! Dan semoga yang membaca tulisan ini dimudahkan jalannya.