Oleh: Roni Tabroni, Koordinator Kelembagaan KPID Jawa Barat
Revolusi industri memberi peluang perkembangan bisnis di berbagai sektor. Namun, revolusi digital benar-benar mendisrupsi peradaban media cetak yang telah banyak jasanya dalam mendampingi bangsa dan rakyatnya.
Pelan namun pasti, wajah jurnalisme terus bergeser. Cara pandang lama dalam mengelola perusahaan media tentu tidak mampu menghadapi serangan digital yang makin diminati publik.
Platform media terus berubah seiring canggihnya teknologi informasi. Perubahan format dan manajemen menjadi keharusan, sebab teknologi telah memaksa publik untuk mengubah cara pandang, kegiatan, termasuk cara mengkonsumsi media.
Pada tahap ini sebenarnya tidak menjadi persoalan. Insan jurnalistik dapat beradaptasi dengan semua teknologi, tanpa menghentikan produksi konten. Namun ketika harus berhadapan dengan publiknya sendiri, jurnalis dan pemilik media harus memutar otak.
Kejayaan media mainstream (seperti media cetak) yang sering dibangga-banggakan bisa rontok oleh blog yang hanya dikelola seseorang tanpa harus menjadi bagian dari industri media. Bahkan "kerajaan" televisi kini dibombardir YouTube yang jauh lebih menarik dan interaktif.
Tantangan serius ini masih menjadi PR yang tidak mudah dipecahkan. Kehebatan media kini tidak ditentukan oleh seberapa besar modal, seberapa canggih teknologinya, seberapa tinggi dan besar kantornya, atau seberapa banyak jurnalis yang bergabung di dalamnya.
Publik tidak lagi memiliki ikatan emosional dengan media. Ketergantungan publik adalah pada konten. Kehebatan perusahaan media tidak menjamin kontennya dibaca. Maka nama besar media tidak lagi jadi jaminan untuk mengikat komunitas pembaca atau penonton.
Banyaknya media-media alternatif berbasis daring misalnya, memberi isyarat abainya publik pada kebesaran media, karena yang dibutuhkan hanya konten. Maka anak ABG tanpa kuliah jurnalistik pun bisa membuat media, mengabarkan tentang hal-hal kecil namun diminati publik.
Ada kekhawatiran, karena tidak memiliki keterampilan dan minim pemahaman akan etika jurnalistik, media-media yang dikelola oleh pribadi atau komunitas-komunitas tertentu kemudian melanggar kode etik atau prinsip-prinsip jurnalistik. Sehingga pakem jurnalistik akan semakin terabaikan jika hal ini dibiarkan.
Tetapi sebenarnya, persoalannya akan kembali kepada publik. Jika media-media alternatif itu bisa mengayomi kebutuhan informasi bagi publik, maka media seperti inilah yang akan tumbuh dan bertahan. Sedangkan minimnya keterampilan jurnalistik dan kode etik, bisa dipelajari dalam kursus singkat saja.
Ketika Dewan Pers masih mempersoalkan apakah blog itu media massa atau bukan, atau ketika mempertanyakan web yang dibuat komunitas-komunitas kreatif itu bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, publik sebenarnya tidak peduli dengan itu semua.
Karena sekali lagi, publik butuh konten. Konten yang dimaksud tidak hanya mengejar kecepatan, tetapi kualitas dan memiliki kedekatan kepentingan dengan publik.
Saya berharap, dewan pers tidak lagi berkutat pada aspek administratif dan formalisme dalam memandang media massa, tetapi bagaimana memberikan alternatif pikiran-pikiran segar agar media mainstream bisa tetap bertahan di tengah tantangan seperti tadi.
Bahkan bagaimana dewan pers juga baiknya merangkul media-media alternatif yang dikelola pribadi dan komunitas agar menjadi bagian dari tradisi jurnalisme masa kini dan ke depan.
Yang tidak mungkin adalah memandang tren media hari ini dengan cara pandang lama. Regulasi perlu diubah agar senapas dengan zamannya. Ini menjadi penting agar tradisi jurnalisme bisa lebih berkembang, sebab jurnalisme bukanlah monopoli pemilik industri, tetapi juga milik masyarakat.
Karenanya kesadaran bermedia di kalangan masyarakat harus dikanalisasi, bukan dibunuh dengan tuduhan-tuduhan yang negatif.
Sumber: kumparan.com