NUBANDUNG - Hari Pahlawan selalu diperingati tiap tanggal 10 November oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hari Pahlawan menjadi momentum untuk mengingat jasa-jasa para pahlawan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun secara spesifik, peringatan Hari Pahlawan tersebut untuk menghormati peristiwa pada 10 November tahun 1945 yang membuat Surabaya membara. Pada tanggal itu juga merupakan perang pertama bangsa Indonesia setelah merdeka pada 17 Agustus 1945.
Latar Belakang & Kronologi, Sekutu Datang Ke Surabaya
Kurang lebih satu bulan setengah setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu pada 31 Agustus 1945, pemerintah secara terang-terangan bahwa seluruh wilayah Indonesia dapat mengibarkan bendera merah putih.
Seruan yang mulai berlaku sejak 1 September 1945 tersebut, sebagai bentuk deklarasi bahwa Indonesia telah benar-benar merdeka. Sebab, sebelumnya selama masa penjajahan Indonesia tidak diperboleh sama sekali mengibarkan bendera merah putih.
Mendengar seruan tersebut, dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, para pemuda dan pejuang di Surabaya menurunkan dan merobek warna biru dalam triwarna bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato 19 September 1945.
Bendera tersebut lalu dikibarkan lagi dengan menyisakan warna merah dan putih. Sebelumnya pada 15 September 1945, pasukan sekutu yang diboncengi tentara Belanda (NICA) tiba di Jakarta setelah bersusah payah memenangkan Perang Dunia Kedua atas Jepang dan blok Sentral.
Pasukan sekutu baru masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945 untuk melucuti senjata tentara Jepang. Tanggal 30 Oktober 1945, terjadi suatu insiden baku tembak antara arek-arek Surabaya dengan Sekutu.
Baku tembak tersebut rupanya membunuh pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur yaitu Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Terbunuhnya Mallaby tersebut memantik kemarahan dari tentara Sekutu.
Tuntutan dan Ultimatum Sekutu kepada Warga Surabaya
Buntut dari tewasnya Jenderal Mallaby, Sekutu pun mengeluarkan ultimatum melalui selebaran kertas kepada warga Surabaya pada9 November 1945 Ultimatum tersebut berisi tuntutan agar warga Surabaya menyerahkan semua senjata kepada tentara Sekutu sebelum jam 06.00 pagi hari berikutnya, 10 November 1945.
G. Moedjanto dalam Indonesia Abad ke-20 (1998) menuliskan, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya, yang isinya antara lain:
1. Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri; 2. Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris; 3. Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Namun, warga Surabaya menolak tuntutan itu. Pertempuran antara kedua pihak pun tak terelakkan. Pertempuran yang berlangsung lebih dari tiga minggu itu memakan ribuan korban jiwa di pihak Indonesia.
M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1993) mencatat, dampak dari peristiwa bersejarah ini menewaskan setidaknya 6.000 -16.000 orang dari pihak Indonesia. Sedangkan korban tewas dari pasukan Sekutu kira-kira sejumlah 600-2.000 orang.
Tak hanya itu, tiidak kurang dari 200.000 orang yang terdiri dari rakyat sipil terpaksa mengungsi dari Surabaya ke daerah-daerah yang lebih aman akibat pecahnya pertempuran tersebut, menurut arsip Stanley Woodburn Kirby dalam The War Against Japan (1965).
Pertempuran Surabaya juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Setahun setelah peristiwa itu, yakni pada 10 November 1946, Presiden Sukarno menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan dan diperingati hingga saat ini.