NUBANDUNG – Ini kisah sukses Dede Koswara Petani muda yang sangat inspiratif. Biasanya dianggap sebelah mata sebagai pekerjaan. Anak muda sedikit yang melirik pekerjaan ini karena dianggap kotor dan kurang menguntungkan.
Namun berbeda dengan Dede Koswara (31) dia justru melihat petani adalah pekerjaan yang bisa menguntungkan dan dia menjadikan petani sebagai mata pencaharian utama.
Dalam perjalanannya Dede juga kerap kali dipandang kotor karena pekerjaanya sebagai petani. Namun Dede berhasil membuktikan, dia sekarang meraup omzet puluhan juta per hari dan ia bisa mengumpulkan uang untuk membeli rumah seharga Rp 2,5 miliar.
Bagaimana Dede bisa meraih kesuksesannya?
Bos Labu Acar
Dede dikenal sebagai bos labu acar di Desa Cukanggenteng. Ia merupakan pimpinan dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Regge yang membawahi 2100 anggota.
Padahal, Dede adalah lulusan SMK jurusan otomotif. Namun, ia lebih memilih meneruskan usaha dari orang tuanya, yaitu berkebun hingga ke pasar menjual sayuran yang dipanennya.
Kini setelah 10 tahun lebih merasakan suka dan duka bergelut di bidang ini, Dede merasakan hasilnya.
“Kebanyakan anak muda (memandang) jadi petani kotor, jadi lihatnya megang cangkul, padahal nggak seperti itu. Saya juga awalnya gengsi, kita ke kebun tuh yang orang lain teman seangkatan biasanya main di Bandung di mal, (kerja) di dealer gitu ya, kelihatannya nyaman, tapi hatinya tetap di bawah telunjuk orang lain,” ujarnya kepada detikcom beberapa waktu lalu.
“Saya kotor dulu, tapi setelah kita merasakan hasilnya jadi pede (percaya diri). Jadi bangga tersendiri ke sayanya punya hasil lebih di orang lain. Buat anak muda ke depannya, jangan malu buat bertani, hasilnya nggak rendah lah, kalau kita hasil bisa lebih banyak,” imbuhnya.
Jatuh Bangun Jadi Petani di Usia Muda
Ia mulai serius bertani dengan berbekal lahan 100 tumbak (setara 1.400 meter) yang diberikan orang tua. Untuk bisa memiliki kemampuan bertani, ia mempelajari seluk beluk pertanian hingga distribusinya ke pasar, sehingga mendapatkan harga beli yang cukup tinggi.
Dede berjuang keras menggarap lahan untuk mendapatkan hasil panen berkualitas baik yang dibantu dua pegawainya. Ia juga berkonsultasi dengan orang-orang dari perusahaan pupuk untuk mempelajari komposisi dan cara penggunaan pupuk yang tepat untuk setiap komoditas.
Ia juga memasarkannya sendiri ke pasar-pasar di Tangerang, Cibitung, Cirebon, dan wilayah lainnya dengan mengendarai mobil pikap seorang diri. Dede membangun koneksinya dengan para pelaku pertanian dan perdagangan dengan mengikuti seminar, pertemuan, dan bergabung di grup Facebook.
Selain mempelajari dengan detail bidang pertanian hingga pemasaran, Dede juga memperluas diversifikasi komoditas. Awalnya ia hanya menanam tomat, lalu ditambah cabai, kol. Sejak lima tahun belakangan, karena melihat tingginya permintaan, ia menanam dan memasarkan labu siam atau biasa disebut labu acar di Jawa Barat.
Omzet Puluhan Juta Per Hari
Gapoktan yang Dede mengelola lahan kurang lebih 350 hektare (Ha). Setiap hari gapoktan ini bisa memproduksi dan mengirim 40 hingga 65 ton sayuran hortikultura (kol, tomat, dan didominasi labu) ke pasar induk yang ada di Bandung, Tangerang, Bogor, hingga Cirebon.
Ia menyebut dari hasil penjualan itu dalam sehari ia bisa mendapatkan omzet Rp 50 juta- Rp 100 juta. Jika diakumulasi, dalam sebulan Dede memperoleh omzet hingga Rp 1,5 miliar karena pengiriman labu nyaris tidak pernah libur.
“Perputaran uangnya per hari ya Rp 50-100 juta, kotornya, omzet. Kalau tonase barang, rata-rata 40 ton, puncaknya nyampe 65 ton, kemarin sudah nyampe 55 ton. Armada yang berangkat ada engkol 3, doublenya 2, 2 L300,” ujarnya.
Menurut Dede Regge, panggilan akrabnya, bergelut di usaha sayuran bukan berarti tak punya resiko. Bukan sekali dua kali ia pernah merugi karena sayurannya tak laku. Ia bahkan mengatakan rugi tersebut sudah menjadi kebiasaan.
“Kalau rugi sudah resiko, sudah kebiasaan, sudah pekerjaan tiap hari mah sudah biasa. Di sayuran tuh kalau itung-itungan hasil nggak kaya (kerja jadi) PNS lah, misalnya per bulan (digaji) sekian. Kalau di sayuran tuh 2 kali 2 bisa 10, bisa 7, bisa minus malah,” ujarnya.
Bangun Rumah Mewah Rp 2,5 M
Dari hasil jerih payahnya, Dede mampu menghadirkan kehidupan yang layak bagi keluarganya, bahkan tergolong mewah. Dua tahun lalu, Dede membangun rumah impiannya di Desa Cukanggenteng.
Sebuah rumah megah dengan pilar besar, serta lantai granit yang berdiri tepat di sisi perkebunan labu miliknya.
Usut punya usut, pembangunan rumah itu memakan biaya Rp 2,5 miliar. Dede mencurahkan hasil tabungannya selama bertahun-tahun bertani untuk membangun rumah tersebut.
“Ini baru jadi tahun lalu, 2019. Pindah juga di awal 2020. Ini (lahannya) sekitar 1400 meter. Dulunya buat tambak, pas dibangun diurug. Tapi di bawah itu masih ada sisa kolamnya,” jelas Dede.
Beli Toyota Alphard
Selain berhasil membangun sebuah rumah mewah, Dede juga memboyong Toyota Alphard untuk kendaraan keluarga. Mobil lansiran tahun 2003 itu dipilih Dede karena nyaman untuk bepergian bersama keluarga.
“Tadinya pakai (Honda) Brio, terus ada teman jual ini (Toyota Alphard 2003). Saya bilang, kalau mau tukar (tambah) sama Brio ya boleh lah. Ternyata dikasih ya sudah ya ambil. Enak lah pakai ini walaupun agak boros,” ujar Dede sambil terkekeh.
Dede menyatakan, dengan kesuksesan yang dicapai, ia tak hanya ingin membahagiakan diri sendiri tapi juga menularkan kesenangan ke orang-orang di sekitarnya. Setiap tahun, dari hasil simpanannya, ia mengajak anggota Gapoktan Regge untuk berekreasi.