Jurnalis memiliki perspektif sendiri dalam melihat peristiwa, fakta dan fenomena keagamaan dari kelompok agama marginal. Pertama, jurnalis yang sedari awal terisi perspektif bahwa kelompok agama marginal tersebut sesat dan menyesatkan. Kedua, jurnalis yang belum pernah berinteraksi dengan kelompok agama marginal, sehingga mereka malas menulis berita tentang kelompok agama marginal.
Bahkan, di dalam sebuah penelitian terungkap bahwa media di Indonesia tidak memberi ruang adil bagi liputan kelompok agama marginal, sebab liputan yang memosisikan aktor agama marginal sebagai korban sangat minim.
Menurut temuan Remotivi dengan dukungan International Media Support (IMS) tersebut, mengindikasikan bahwa media pada umumnya meminggirkan keberadaan kelompok agama marginal.
Remotivi dalam risetnya mengategorikan kelompok agama marginal tersebut adalah Syiah, Ahmadiyah, dan Penghayat Kepercayaan. Sementara agama-agama non-marginal adalah Islam (Sunni), Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu – yang juga merupakan agama resmi di Indonesia.
Peneliti Remotivi, Muhammad Heychael, dalam focus group discussion (FGD) akhir pekan lalu, mengatakan kendati agama resmi non-Islam (Sunni) mendapatkan ruang yang cukup besar dalam pemberitaan, namun lebih kepada hal-hal yang bersifat seremonial, seperti ritual hari raya keagamaan.
Berbeda dengan peliputan terhadap agama-agama marginal, sambung Heychael, arah pemberitaan media terhadap kelompok tersebut lebih menonjolkan aspek konflik dan sering menjadi pihak yang di-persekusi.
Penelitian yang dilakukan terhadap 88 penganut agama marginal dan 377 penganut agama non-marginal di 4 provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, menemukan perbedaan menonjol antara kedua kelompok tersebut dalam tingkat kepercayaan kepada media.
Tingkat kepercayaan penganut agama marginal kepada media tergolong rendah dibandingkan mereka yang masuk ke dalam kelompok agama non-marginal.
Penelitian menemukan 8,33 persen responden kelompok marginal merasa media di Indonesia merepresentasikan semua masyarakat, dibandingkan dengan angka 33,68 persen dari responden kelompok non-marginal.
Sementara dalam penyediaan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, sebanyak 33,33 persen responden kelompok marginal yang berpendapat bahwa media di Indonesia pada telah memenuhi kebutuhan tersebut, dibandingkan dengan angka 44,5 persen pada kelompok non-marginal.
Polarisasi media
Direktur eksekutif Remotivi Yovantra Arief memaparkan praktik media dalam liputan agama marginal juga ditandai oleh polarisasi, seperti dalam liputan kasus pemulangan pengungsi kaum Syiah di Sampang, Madura.
Menurut Yovantra, MetroTV meliput topik tersebut dalam bingkai yang relatif netral. Sebaliknya, TV One tidak memberitakan peristiwa tersebut, tetapi justru menyiarkan laporan tentang ajaran Syiah yang mengarahkan penonton untuk mengutuk aliran tersebut.
Dalam proses penelitian, Yovantra mengatakan ketika ditanya stasiun berita televisi mana yang paling dipercaya, sebanyak 47,92 persen kelompok marginal menyebut stasiun berita Metro TV, sementara 40,10 persen dari kelompok non-marginal menyebut nama TV One.
Sebaliknya, ketika ditanya stasiun berita televisi yang paling tidak dipercaya, sebanyak 37,5 persen kelompok marginal menjawab TV One, sementara 17,19 persen kelompok non-marginal menyebut Metro TV.
Yovantra menjelaskan riset tersebut sendiri dilakukan melalui dua metode, yaitu analisis konten dan analisis khalayak.
Analisis konten menelaah isi liputan dan pembingkaian pemberitaan mengenai kelompok agama minoritas dan marginal di Indonesia di enam media daring dan empat saluran televisi, dengan total 11.424 artikel berita daring dan 181 tayangan berita televisi.
Sementara itu, kata dia, analisis khalayak menelaah perilaku ber-media, literasi berita dan media, tingkat kepercayaan, dan persepsi khalayak terpilih terkait peliputan agama minoritas di Indonesia.
Secara total subjek penelitian untuk kajian khalayak, baik dari penganut agama marginal maupun non-marginal, adalah 88 orang, dengan detail sebagai berikut: 48 responden survei, 16 informan in-depth interview (IDI), dan 24 partisipan FGD.
Pada analisis konten, kelompok agama minoritas yang dikaji adalah agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sementara itu, kelompok agama marginal Islam yang menjadi subjek kajian khalayak adalah kelompok Syiah, Ahmadiyah, dan Penghayat Kepercayaan.
Pekerja media dan pegiat keberagaman, Ahmad Junaidi, melihat isu polarisasi ini dalam dua permasalahan. Pertama, kata direktur SEJUK itu, adalah permasalahan perspektif jurnalis, mulai dari reporter lapangan, redaktur, produser, hingga bahkan mungkin pemimpin redaksi.
Perspektif jurnalis sendiri ada dua jenis. Jurnalis yang sejak awal memiliki perspektif bahwa kelompok agama marginal ini sesat dan menyesatkan. Kelompok jurnalis seperti ini agak sulit untuk ‘diubah’, kata Alex – panggilan Ahmad Junaidi.
Kedua, tambah Alex, jurnalis yang belum pernah berinteraksi dengan kelompok agama marginal. Pengetahuannya tentang kelompok agama marginal “setengah-setengah” atau yang didapat dari bahan bacaan yang diskriminatif dan stereotipikal.
Perspektif yang “bermasalah” ini menyebabkan persoalan dalam karya-karya jurnalistik, kata Alex, mulai dari sisi jumlah liputan yang minim, pilihan kata yang merendahkan, stereotipikal, seperti sesat, tobat, kafir, atau menghina agama.
Kepentingan ekonomi politik
Alex menambahkan faktor ekonomi dan politik menjadi penentu konten apa yang diproduksi oleh media. Perusahaan media selalu mempertimbangkan pemirsanya saat menentukan sudut (angle) liputan yang direncanakan dalam ruang redaksi.
Dalam bisnis media, jumlah pemirsa selalu berbanding lurus dengan pendapatan yang dihasilkannya. Dengan begitu, kata Alex, beberapa media cenderung menghindari pemberitaan konflik dengan korban kelompok agama marginal, kuatir akan berdampak pada ekonomi medianya.
Media – terutama media online – cenderung berorientasi pada clickbait dalam memilih kata-kata kunci terkait liputan kelompok agama marginal, seperti ‘tobat’, ‘kafir’, kata Alex.
Dalam konteks politik juga sama. Karena identitas agama ini menjadi paling dominan dalam membentuk dinamika politik di Indonesia, dibandingkan dengan identitas, suku, etnis, kebangsaan dan status sosial, maka agama paling rentan dipolitisasi.
Politisasi media tersebut – seperti pada pengalaman Pilpres 2019 lalu – berujung pada polarisasi media, bahkan hingga pasca-pemilu, seperti kontestasi antara TV One dan Metro TV.
Sementara akademisi melihat dari perspektif berbeda. Roni Tabroni, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung, mengatakan absennya komunitas tertentu di ruang media belum tentu cermin dari sikap diskriminasi.
Menurut Roni, media memiliki standar tersendiri sebuah objek pantas atau tidak untuk dijadikan konten berita, salah satunya adalah news value (nilai berita). Dia mencatat persepsi negatif terhadap media tidak hanya terjadi pada kelompok marginal tapi juga non-marginal.
Dengan demikian, kata Roni, lahirnya wacana dan praktik jurnalisme warga merupakan perlawanan publik pada media arus utama, yang tidak hanya dimotori oleh kaum minoritas tapi juga generasi muda atau milenial.
Serupa dengan akademisi, praktisi media dari televisi yang menjadi obyek penelitian, TV One, menganggap tidak tercakupnya kaum agama marginal dalam peliputan semata karena alasan teknis peliputan.
Syarief Halim, jurnalis TV One yang hadir sebagai penanggap riset Remotivi, mengakui bahwa peliputan terhadap kelompok agama marginal belum memadai. Namun bukan karena pembingkaian semata tetapi lebih kepada kesulitan mengakses kaum tersebut.
Yendra Budiana, juru bicara Ahmadiyah di Indonesia, menanggapi kendala yang dihadapi jurnalis TV One itu dengan janji untuk membuka akses seluas luasnya terhadap media yang ingin meliput komunitas Ahmadiyah.
Bahkan Yendta sudah menyiapkan semacam kamus Ahmadiyah untuk menjadi rujukan peliputan media di Indonesia.
Apa yang harus dilakukan
Kesulitan mendasar pada media untuk membuat liputan kelompok agama marginal secara proporsional adalah terkait cara berpikir jurnalisnya yang tidak sedikit sudah terpengaruhi stigma yang melekat pada tersebut, seperti diungkapkan Ahmad Junaedi, pemimpin SEJUK, sejak awal.
Untuk itu, SEJUK menawarkan solusi jangka panjang untuk mengubah perspektif jurnalis melalui kegiatan pelatihan jurnalistik untuk keberagaman secara berkesinambungan dan berjenjang agar bisa menghasilkan karya-karya yang menyuarakan hak-hak kelompok agama marginal.
Selain pelatihan untuk jurnalis profesional, organisasi pejuang kesetaraan tersebut juga menawarkan untuk merekrut pers mahasiswa untuk mengisi posisi jurnalis di media arus utama.
Ahmad “Alex” Junaidi juga mengajak entitas media mengundang pakar keberagaman dan komunitas agama marginal mengunjungi newsroom, berkenalan dan berdialog dengan jurnalis lapangan, redaktur, produser dan pemimpin redaksi.
Alex juga menekankan perlu adanya pedoman yang meminta media untuk mengedepankan konstitusi, kemanusian, dan secara spesifik tidak menggunakan diksi dan istilah yang merendahkan komunitas agama marginal. Masih dibutuhkan ikhtiar panjang dalam menegakkan jurnalisme keberagaman.
Tulisan ini pernah tayang di laman www.aa.com.tr/id/ dengan judul: ANALISIS – Ketika media di Indonesia dinilai belum berpihak pada kelompok agama marginal.