Tulisan ini bukan makalah. Tapi, sekadar curhat kecil-kecilan tentang pengalaman saya hingga bisa menulis artikel dan buku.
Keinginan untuk bisa menulis artikel di media cetak, sudah ada sejak saya mulai masuk ke UIN (dulu IAIN) Bandung, tahun 2002. Sejak keluar dari pesantren persatuan Islam No. 19 Garut, saya mencoba mendaftarkan diri ke jurusan Jurnalistik di UIN Bandung. Tapi, tidak lulus. Malah lulus pada jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Ada perasaan sedih dan kecewa saat itu, karena tidak lulus masuk Jurnalistik.
Pikirku, keinginan untuk menjadi penulis akan sirna ketika tidak masuk jurusan Jurnalistik.
Ketika perkuliahan sudah berjalan beberapa tahun, hasrat untuk menulis artikel di media cetak muncul kembali. Tepatnya, ketika mengikuti mata kuliah Kaifiyat Mujadalah dan Ilmu Mantiq yang diampu Dr. H. Aef Kusnawan, M.Ag.
Waktu itu, beliau adalah dosen muda yang telah berkarya untuk mengharumkan fakultas Dakwah dengan artikel dan buku yang diterbitkan penerbit buku dan media cetak. Ia, pada waktu itu memotivasi saya dan mahasiswa lain untuk menulis dan mengirimkannya ke media cetak. Dengan embel-embel akan mendapatkan nilai A pada mata kuliah yang diampunya, saya tertantang untuk menulis dan mengirimkannya ke Koran.
Alhamdulillah, pada bulan Desember 2004, artikel saya yang pertama kali ditulis dan dikirim diterbitkan Koran Galamedia. Bangga sekali waktu itu, meskipun hanya dibayar 30 ribu oleh Galamedia karena tertera nama Sukron Abdilah.
Sejak saat itu, saya giat menulis artikel dan mulai meminta bimbingan kepada kang Aef Kusnawan. Hanya untuk bimbingan menulis, saya rela berjalan kaki dari Manisi ke rumahnya, yang berada di atas awan. Hahaha
Ia tidak merendahkan tulisan, tapi mengarahkan tulisan agar lebih punya sudut pandang. Saya merasa asyik dibimbing kang Aef Kusnawan, sehingga muncul semangat agar terus memperbaiki kualitas tulisan.
Sepenggal cerita di atas adalah perjalanan saya mengarungi dunia penulisan.
Berdasarkan pengalaman, menulis memerlukan semangat, tekad, dan keinginan kuat. Selain itu, anda juga harus rajin membaca dan berdiskusi atau mengikuti seminar yang berkaitan dengan materi yang akan kita tulis.
Sebab, modal utama menjadi penulis adalah memiliki kekayaan diksi, berwawasan luas, memiliki analisis yang tajam, dan ada tidaknya gagasan yang akan ditawarkan dalam suatu artikel. Menulis itu bagaikan seorang pedagang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain.
Oleh karena itu, dalam isi tulisan harus memuat ide-gagasan yang menarik pembaca.
Membaca akan menambah perbendaharaan kata yang disimpan di memori kita. Selain itu akan meluaskan cakrawala pengetahuan kita, dan mempertajam daya kritis kita terhadap fenomena atau gejala yang sedang terjadi.
Dengan membaca karya orang lain, memudahkan kita untuk meniru gaya tulisan si penulis. Sehingga lebih mudah menuangkan ide-gagasan menjadi sebentuk tulisan artikel yang komplit. Untuk mencoba cara ini, ambillah salah satu artikel yang telah dimuat di Koran atau media cetak lainnya.
Pelajarilah kerangka atau struktur dan gaya tulisan di dalam artikel tersebut. Dari mulai judul, pendahuluan artikel, sub judul, sampai kepada penutup.
Agar bisa menuliskan ide dan gagasan menjadi sebuah tulisan, baik makalah, artikel, naskah buku, atau paper penelitian, diperlukan kebiasaan menulis setiap hari. Pokoknya, tuliskan ide-gagasan yang ada dibenak menjadi kalimat yang tersusun rapi.
Saya pikir anda akan menjadi penulis sejati, yang berposisi sebagai intelektual publik. Salah satu strata intelektual yang menjadi bahan acuan masyarakat. Intelektual publik ada persamaan dengan selebritis tapi berbeda secara kualitas. Kalau selebritis semakin tua semakin tidak laku dipasaran.
Penulis – sebagai intelektual publik – semakin tua maka ia akan semakin terkenal dan karyanya akan semakin berbobot. Kalau anda tertarik menjadi intelektual publik, silahkan mulai menuliskan ide-gagasan menjadi rangkaian kalimat yang membebaskan masyarakat dari “kesadaran palsu” akibat ada laku lampah hegemonik dari segelintir orang.
Wilujeng nyerat ah…"Elmu teh lain ngagubrag ti awang-awang, lain oge saukur dina kertas daluang, tapi tina ruang-riung jeung papada urang”.
Begitu juga dengan menulis. Tanpa ada komunitas yang ruang-riung membincangkan dan mempraktikkan tradisi menulis, bahasa akan menemui kematiannya. Dalam bahasa kekinian, kita harus menjadi penulis yang mampu berkolaborasi membangun jejaring.
Let's Write for Happiness!!!