NUBANDUNG – Wage Rudolf Supratman. Pahlawan nasional yang satu ini, di Kota Bandung dan sejumlah kota di Indonesia, diabadikan sebagai nama jalan. Foto dirinya pun diabadikan pada uang kertas pecahan Rp50.000.
Salah satu jasa terbesar, masyhur dan mendunia adalah lagu gubahannya yang kelak menjadi national anthem Republik Indonesia. Ya, “Indonesia Raya”! Lahir 9 Maret 1903 di Jakarta, WR Supratman sebenarnya adalah seorang komponis, jurnalis dan pemuda pribumi pada masa pergerakan.
Saat berusia 11 tahun, ia turut bersama kakaknya, Roekijem, menetap di Makassar. Sejak kecil, ia sudah menggemari musik dan pandai memainkan biola.
Masa pendidikannya tak lepas dari peran iparnya yang seorang Belanda, Willem van Eldik. Usai menamatkan pendidikan dan menjadi guru, ia bekerja di sebuah perusahaan dagang kemudian beralih profesi sebagai pewarta.
Setelah berkiprah di surat kabar Kaoem Moeda di Bandung, WR Supratman beralih ke surat kabar Sin Po di Batavia (Jakarta). Di tempat yang baru ini seringlah dirinya berinteraksi dan bersinergi dengan para tokoh pergerakan nasional.
Perlahan semangat nasionalismenya kian tumbuh. Jiwa dan badannya terbangun untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Suatu tempo, WR Supratman membaca sebuah karangan di majalah. Penulis karangan tersebut menantang para ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Mengetahui hal itu, sang komponis pun termotivasi lalu menggubah sebuah lagu.
Kongres Pemuda
Tahun 1924, terciptalah “Indonesia Raya”. Waktu itu, WR Supratman yang berusia 21 tahun tengah berada di Bandung.
Saat Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, ia memperdengarkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya di hadapan umum. Namun, lagu hanya tersaji secara instrumental dari gesekan biolanya alias tanpa syair. Mengapa? Rupanya hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga kondisi dan situasi politik saat itu.
Lirik lagu dipublikasikan pertama kali oleh surat kabar Sin Po edisi 10 November 1928 dan menyebar ke seantero negeri.
Lagu Indonesia Raya telah mengantarkan WR Supratman dikenang sepanjang masa. Akan tetapi, kemerdekaan bangsa yang dicita-citakannya tak pernah ia alami. Sang komponis muda meninggal dunia di Surabaya pada 17 Agustus 1938, tujuh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.