Penulis: Rafi Tajdidul Haq, Sekjen PC IMM Bandung Timur
Idealisme dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar atau bahkan mengucapkan diksi kata idealisme tersebut.
Sejauh yang penulis dengar, biasanya kata idealisme diucapkan dalam konotasi positif, namun juga kadang-kadang berkonotasi negatif. Misalnya ada seseorang bercita-cita ingin menjadi tentara, namun setelah berkali-kali mengikuti seleksi orang tersebut tak kunjung berhasil.
Baginya tentara merupakan cita-cita dan patokan yang menurutnya ideal atau sempurna. Sementara dalam realitasnya ia tak mampu mengejar kesempurnaan yang dibayangkannya itu. Lalu apa yang akan terjadi berikutnya? Sementara kehidupan terus berjalan dan berbagai kebutuhan hidupnya harus terpenuhi.
Katakanlah si A memilih untuk melampiaskan kekecewaanya dengan meminum minuman keras atau mengkonsumsi narkoba supaya dirinya tenang dan merasakan kepuasan jiwa setelah gagal menjadi tentara.
Idealisme yang dia bangun bukannya memperbaiki kualitas diri malah merusak kehidupannya. Sementara si B walau sudah berusaha keras meraih cita-citanya, namun juga tetap bernasib sama yaitu tidak lolos sebagai tentara.
Si B memiliki pola pikir yang berbeda dengan si A, si B lebih memilih mengevaluasi dan melihat potensi dia sesungguhnya ke arah mana. Idealisme yang dibangun tidak memperbudak dirinya. Si B berusaha membuat alternatif idealisme yang baru yang berpotensi berbuah lebih baik bagi kehidupannya.
Setiap orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita atau kondisi kehidupan yang ideal menurut pribadinya. Entah itu pekerjaan, pendidikan, pasangan dan status sosial di tengah masyarakat.
Idealisme-idealisme tersebut tidak ada salahnya untuk diusahakan dan dipertahankan. Akan tetapi, ketika idealisme tersebut bergeser menjadi segalanya, menjadi keyakinan yang harus dipaksakan kemudian menganggap kehidupan tidak akan baik-baik saja tanpa terwujudnya idealisme tersebut.
Saat itulah orang itu secara tidak langsung telah menganggap idealismenya sebagai Tuhan bagi dirinya sendiri. Ia jatuh pada kondisi mempertuhankan Idealismenya (dalam bahasa al-Qur’an menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan-Tuhan mereka).
Si A bisa jadi merupakan tipe orang yang jatuh pada fase mempertuhankan idealisme. Sementara si B hanya jatuh pada fase mempertahankan, walaupun akhirnya tidak bisa dipertahankan juga.
Karenannya, tidak berarti yang harus dipertahankan menjadi harus dipertuhankan. Idealisme bukan Tuhan, ia hanya kondisi kejiwaan yang muncul, bisa jadi baik atau bisa jadi buruk.
Dalam konteks seperti ini kita bisa memperhatikan sosok pemuda, yang biasanya dilekatkan sebagai seorang idealis yang sedang tumbuh. Pemuda, remaja, mahasiswa, sejauh penglihatan penulis kadang-kadang bingung bila dihadapkan dengan realitas yang majemuk. Banyak di antara mereka yang mengubur idealisme yang baik dan membuangnya ke tong sampah.
Tidak sedikit juga di antaranya yang mempertuhankan idealisme sehingga pantang menurunkan ego. Hemat penulis menjadi pemuda itu harus pintar dan cerdas dalam memahami idealisme yang dibangunnya. Serta cukup wawasan tentang bagaimana menempatkan idealisme tersebut dalam konteks tertentu.
Sebab itu, berbicara idealisme itu bukan hanya berbicara tentang teks (pikiran, harapan, cita-cita). Namun idealisme juga berbicara tentang konteks (keadaan atau situasi) seperti apa.
Momentum sumpah pemuda merupakan momen yang tepat untuk menggalang idealisme kembali para pemuda. Idealisme yang dibangun dalam rangka menumbuhkan jiwa berbangsa dan bernegara. Idealisme yang membangun dan menyatupadukan. Idealisme yang merubah keadaan menjadi lebih baik bukan sebaliknya.
Salam dari Cipadung! Selamat hari sumpah pemuda!