Penulis: Ibn Ghifarie, Pegiat Institute for Religion and Future Analisys (IRFANI), Bandung
Rasa-rasanya, negara Indonesia yang katanya negara demokrasi dan bebas berpendapat masihlah kaku dan sangat reaktif terhadap humor dan lelucon. Buktinya tagar #IndonesiaDaruratHumor sempat ramai dibicarakan dan bertengger di jajaran trending teratas setahun yang lalu.
Tagar ini menjadi naik bertepatan pasca warga Kepulauan Sula, Maluku Utara bernama Ismail Ahmad mengunggah konten yang memuat kutipan presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman Wahid tentang polisi di akun Facebook nya pada 12 Juni 2020 lalu.
Merawat Humor Dalam cuitan putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid pada 17 Juni lalu menuliskan “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”.
Apakah gurauan ini yang dipersoalkan oleh polisi hingga menjadi begitu reaktif? Cuitan itu dibarengi dengan mengunggah pada keesokan harinya, gambar yang memuat pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang sebelumnya menjabat Kepala Kepolisian RI.
Tulisan pada gambar tersebut menyatakan bahwa: ”Almarhum (Gus Dur) sempat menyindir Polri, karena di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng. Ucapan beliau menjadi cambukan bagi kami agar Polri sebagai institusi yang lebih baik”.
Pada unggahan gambar tersebut, Alissa Wahid menyertakan caption yang berbunyi: “Pak Polisi, ada teladan nih dari pemimpin Anda semua, mantan Kapolri Tito Karnavian, sekarang Menteri Dalam Negeri”.
Meskipun insiden Ismail Ahmad telah selesai, namun netizen sudah terlanjur jengkel karena polisi memperkarakan humor. Alissa Wahid menegaskan bahwa katanya: “Indonesia sedang darurat humor. Makanya humor seperti ini jadi urusan hukum. Itu berarti sudah darurat sekali buat Indonesia. Dan ini sudah kesekian kali”.
Pengamat politik dari Universitas al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin menjelaskan, dalam habitat demokrasi siapapun seharusnya siap menerima kritik. Kalaupun humor kritis Ismail dianggap sangat pedas sudah sepatutnya dijadikan alat mengevaluasi diri. Apalagi kritikan tersebut hadir dalam kutipan seorang tokoh bangsa.
Bagi Ismail, kritik-kritik jenaka di atas sudah dilakukan dengan benar tanpa penghinaan. Terlebih, masyarakat semakin bisa merasakan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Karenanya, merawat humor harus dilakukan untuk menjaga keberpihakan. Hikayat Humor Romo Sindhunata menjelaskan sebagai Semar, Gus Dur adalah pengembara yang berkelana tak terikat tempat dan bentuk.
Dengan humor kritisnya, Gus Dur mendekonstruksi segala kemapanan. Seperti Semar yang tidak terikat pada posisi, bahkan menjadi pengkritik keras kekuasaan. Gus Dur yang kiai itu adalah juga seorang mediator. Seperti kentutnya (maaf) yang membuat puyeng jagat, apa pun yang dilakukan Semar, termasuk kritiknya yang keras ditujukan untuk kebaikan kepemimpinan Batara Guru.
Sekeras apapun kritikannya, Semar tidak mungkin melakukan hal inkonstitusional. Bagi kalangan yang menganggap miring sosok Gus Dur, humor-humor yang disampaikannya adalah bentuk ketidakseriusan dan gambaran dirinya yang selalu menggampangkan segala persoalan.
Gus Dur memang sosok yang kontroversial dan multidimensi dalam mengungkapkan ide dan sikapnya. Walaupun begitu, banyak idenya yang bermanfaat seperti pembangunan kemajuan dan penguatan demokrasi.
Meski seringkali bersikap kontroversial, Gus Dur sebenarnya sedang menunjukkan hakikat demokrasi. Sekaligus melakukan kritikan dengan caranya sendiri, yaitu kultur dan banyolan.
Ciri khas yang paling utama dari Gus Dur adalah rasa humor yang dimiliki. Hampir dalam setiap kesempatan Gus Dur selalu menyelipkan humornya. Bagi Gus Dur sendiri, humor sudah menjadi makanan sehari-hari. Suatu waktu ketika ditanya soal hobinya, Gus Dur menjawab “Di pesantren itu humor jadi kegiatan sehari-hari”.
Dengan lelucon kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor pikiran kita jadi sehat. Namun dalam kesempatan berbeda, humor adalah media yang menyeimbangkan keadaan.
Walhasil, kejenakaan Gus Dur dalam tingkah polah dan celetukanya pun tak terlupakan oleh sahabat-sahabatnya karena mempunyai sense of humor yang tinggi.
Kedewasaan Bangsa G.W. Allport, seorang ahli psikologi kepribadian mengungkapkan eratnya hubungan antara rasa humor dengan kedewasaan pribadi dan kesehatan mental. Kepribadian yang matang dan sehat ditandai dengan kemampuan memahami kekuatan dan kelemahan diri, tidak mudah emosi, mampu melihat segi-segi humoristis atas pengalaman dan keadaan dirinya.
Pada akhir tahun 1999, dalam acara konferensi internasional di Bali, Gus Dur mengolok-olok dirinya sendiri. Di depan ratusan peserta, dengan menggunakan bahasa Inggris yang fasih Gus Dur berkata: “Presiden dan Wakil Presiden sekarang ini adalah sebuah tim yang ideal. Presidennya tidak bisa melihat dan Wakil Presidennya tidak bisa bicara.”
G.W. Allport mengatakan bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa, pencemas dan mudah merasa takut, tetapi mempu menertawakan keadaan dirinya, besar kemungkinan dapat mengendalikan kondisinya menuju kesembuhan.
Ditambah menurut Bastaman pada dasarnya setiap orang memiliki rasa humor. Karena bagaimanapun pendiamnya seseorang pasti pernah tertawa, minimal tersenyum. Manusia sendiri memiliki kualitas insani, yakni segala potensi kemampuan, bakat dan sifat yang tidak terdapat pada makhluk-makhluk lain. Seperti kesadaran diri, transendensi diri, memahami dan mengembangkan diri, kebebasan memilih, kemampuan menilai diri sendiri dan orang lain, spiritualitas dan religiusitas, humor dan tertawa, etika dan estetika, nilai dan makna.
Ingat, dalam sebuah humor, lelucon merupakan sarana protes terselubung atas sulitnya menyatakan pendapat di negeri kita. Ini berfungsi untuk memiliki kemampuan dalam menggalang persatuan dan kesatuan.
Minimal bisa ditempuh dengan jalan mengidentifikasi “lawan bersama” sebagai kritik terhadap keadaan yang tidak menyenangkan di tempat sendiri. Atau juga sebagai pelepas kejengkelan orang banyak kepada penguasa yang dianggap sudah bertindak terlalu jauh membohongi dan menyakiti hati rakyat.
Bila segala bentuk meme, lelucon, dan humor sudah terlarang tumbuh subur di bumi Nusantara. Serta kebebasan berpendapat dan berekspresi dianggap dapat mengancam demokrasi.
Maka kita tinggal menunggu saja memudarnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasalnya, kedewasaan suatu bangsa dan negara, termasuk Indonesia dapat diukur dari sikap dalam menanggapi ekspresi humor dan lelucon.
Tertawalah Sebelum Dilarang Lelucon dan bentuk-bentuk lain dari humor memang tidak dapat mengubah keadaan atas “tenaga sendiri”. Ini sudah wajar karena apalah kekuatan percikan perasaan manusia di hadapan keadaan yang mencengkram kehidupan bangsa secara keseluruhan.
Namun, lelucon kreatif tetapi kritis merupakan bagian yang harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultur suatu bangsa. Kalau bangsa itu sendiri tidak ingin kehilangan kehidupan waras dan sikap berimbang dalam menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup yang sama luas. Dera kepahitan dalam jangka panjang tidak mustahil akan ditundukkan oleh kesegaran humor.
Mudah-mudahan segala ikhtiar untuk merawat dan memelihara riwayat humor menjadikan keutuhan NKRI hidupnya lebih lama, panjang dan bermakna. Karena sejatinya tertawa adalah hak segala bangsa dan setiap orang terjamin kebebasan tawanya. Sudah saatnya kita menyerukan kembali sebuah slogan: “Tertawalah, sebelum tertawa dilarang”.
Mari, kita semua tertawa, bergembira dan merawat humor kritis dalam hidup berbangsa dan bernegara. Karena dengan kita merawat humor, sejatinya kita sedang merayakan kebebasan tawa kita.
Tulisan ini pernah tayang di laman ibtimes.id dengan judul: Merawat Humor, Merayakan Kebebasan Tawa.