Oleh: TEDI TAUFIQRAHMAN
Mungkin benar, meminjam istilah Goenawan Muhammad, dalam setiap praktek demokrasi mesti ada yang menjadi “tumbal” untuk keberlangsungan dan pencapaian keberhasilannya.
Pada tahun 1968 beberapa minggu sebelum Muktamar pertama Partai Muslimin Indonesia (PMI) dilaksanakan di Malang beredar kabar bahwa tokoh-tokoh tua Masyumi ikut memperkuat partai baru tersebut. Salah satunya adalah Muhammad Roem.
Mengapa Roem dan beberapa kawannya—M Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Burhanuddin Harahap, Sjafrudin Prawiranegara—ikut serta? Karena pada saat itu PMI yang dipimpin oleh golongan muda kurang mendapat massa dan belum dikenal begitu luas.
Ayah Roem, Dulkarnaen Djojosasmito, bukanlah seorang yang ahli agama bahkan pembauran nilai-nilai Jawa dengan Islam mempersulit untuk menggolongkannya ke dalam kelompok santri. Hanya, Dulkarnaen adalah seorang pribadi yang memiliki kesadaran historis.
Hal ini ditunjukannya dengan memberi nama anak-anaknya dengan symbol-simbol keagamaan. Keempat anaknya diberi nama para Khalifah Ar-Rasyidin. Anak tertua diberi nama Abu Bakar, kedua Umar, ketiga Usman dan keempat Ali.
Sementara nama Mohammad Roem merupakan percikan refleksi dari kesadaran historis sang ayah terhadap kitab suci Al Qur’an, Surat Ar Rum yang bercerita tentang nasib Imperium Romawi.
Muhammad Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908, putera keenam dari Dulkarnaen Djojosasmito seorang lurah Klewongan, Kawedanan Parakan, Kabupaten Temanggung Jawa Tengah.
Sejatinya Roem termasuk anak-anak jawa yang beruntung. Sebab pada tahun-tahun itu merupakan masa dilaksanakannya kebijaksanaan baru penjajah yang lebih memperhatikan bumiputera. Pada Januari 1901, Ratu Wilhemina mengumumkan tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang yakni untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Pendidikan pertamanya ditempuh di Hollandsch Inlandsche School (HIS), kemudian dilanjutkan ke School Tot Opleding Voor Indische Art (STOVIA), sebuah sekolah pendidikan dokter pribumi di Jakarta yang untuk tingkat persiapannya ia selesaikan pada tahun 1927.
Setelah menyelesaikan STOVIA ia justru melanjutkan ke Algemene Midelbare School (AMS) dan luluh pada tahun 1930. Namun ketika ia mendaftar ke Geneeskundige Hoge School (GHS) Sekolah Tinggi Kedokteran, dua kali ia mengikuti ujian masuk dan dua kali pula ia gagal.
Meski dididik dengan pendidikan barat Roem tidak muncul sebagai tokoh nasionalis “secular”, walau secara umum baik dengan Hatta, Sukarno, Ali Sastroamidjojo maupun Sjahrir memiliki persepsi yang sama tentang masa depan bangsanya.
Pada tahun 1925 Roem berkenalan dengan Agus Salim lewat aktivitasnya di Jong Islamieten Bond (JIB) sekaligus mengagumi tokoh islam tersebut.
Bersama dengan Kasman Singodimedjo, Suparno dan lainnya Roem sering berkunjung ke rumah tokoh PSII ini. Dan kelak pengaruh dari Agus Salim-lah yang menentukan arah dan langkah-langkah politik Roem.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 ketika mendekralasikan Sumpah Pemuda, Roem juga hadir tetapi, dalam pandangan Dawam Rahardjo, masih terlalu muda untuk menjadi tokoh pemuda sekalipun umurnya sudah 20 tahun pada saat itu.
Pasca kemerdekaan sosok M Roem tetap teguh menjadi intelektual bebas, berani dan berkepribadian teguh seperti halnya Hatta dan Sjahrir sebab pada saat itu kondisi seseorang mudah beralih peranan dari intelektual bebas menjadi penguasa.
Kepribadian bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau organisasi ini menjadi corak perjuangan Roem yang kemudian menentukan putusan-putusan politik pribadinya.
Tidak mengherankan jika Roem, walau menjadi anggota masyumi, memutuskan untuk duduk dalam suatu kabinet yang tidak mendukung Masyumi.
Kepribadian bebas ini pula yang menentukan arah perjuangan Roem sebagai seorang diplomat atau perunding bukan semata-mata bakat atau warisan keterampilan yang diperoleh dari Agus Salim.
Namun kendati demikian memang pengaruh Agus Salim terhadap diri Roem tak bisa dibantah, salah satunya adalah pandangan Roem mengenai penekanan untuk mencapai kemerdekaan yang harus diubah yaitu dengan perundingan bukan secara radikal.
Salah satu kiprah diplomasi Roem yang paling terkenal adalah Roem-Royen Statement pada tanggal 14 April 1949, Roem mengecam serangan-serangan Belanda. Dalam pidatonya roem menyatakan, agresi belanda yang kedua telah mengakibatkan hilangnya sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya suatu perundingan damai.
Sesungguhnya, perundingan yang berlangsung di Hotel Des Indes di jalan Molenvliet, merupakan suatu perundingan yang sangat menentukan bagi masa depan bangsa Indonesia yang berdaulat.
Dalam hal ini salah satu bunyi Royen Statement menyatakan pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah republik Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan jabatan yang sepatutnya dalam suatu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
Roem hampir sepenuhnya dalam dunia diplomasi, suatu dunia nonpersenjataan dan ikut memberikan andil bagi kemerdekaan bangsa Indonesia justru pada saat-saat senapan tidak memberikan harapan.
Lantas apa yang telah kita lakukan?