Kalau cinta/Sudah direkayasa/Dengan gaya/Canggih luar biasa/Rindu buatan/Rindu sungguhan/Susah dibedakan// (Camelia Malik, Rekayasa Cinta)
Andrew N. Weintraub dalam buku bertajuk Dangdut; Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012) menyebutkan bahwa, “Teks-teks lagu dangdut bukan sekadar melankoli, dan joget bukan pula ruang bersenang-senang belaka,” tulisnya.
Kemudian ia melanjutkan, “Lagu dangdut membuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran, dan bukan menutupnya. Dangdut tidak memberikan jawaban atas persoalan. Melainkan mendorong batas-batas dari apa yang diperbolehkan, demi membeberkan ekses-ekses kemungkinan.” (hlm 130-167).
Bagi saya, lirik itu menjadi penting jika kata cinta diganti dengan kata politik dan digital. Artinya, rekayasa menyebabkan sesuatu yang asli dan palsu (buatan) sungguh sulit dibedakan. Dalam nuansa yang berbeda, ternyata tidak hanya dunia cinta yang sudah direkayasa, ekonomi, politik dan digital teringkus sudah dengan ikhwal rekayasa ini.
Selain televisi, media sosial di internet juga dapat dikategorikan menjadi mesin kampanye yang efektif. Pada pemilu presiden ini, dapat dicatat semua calon sudah memasang semacam informasi; Fans Fage, Facebook, Twiter, Blog, dan group komunitas relawan.
Namun, ini pula yang diisratkan oleh seorang teman, bahwa rekayasa politik melalui digital sudah mulai menjadi topik utama, penyebabnya mulai terjadinya chaos terakit selubung kampanye hitam.
Coba lihat saja di media sosial; Facebook, Tweteer dan media online, berita politik tentang kedua capres sudah menjadi-jadi. Isinya bisa berbentuk rekayasa dalam desain komunikasi visual (gambar dan kata-kata) maupun pemugaran “luka lama”. Tujuanya, agar menanam semacam persepsi di benak si pembaca.
Menariknya, rekayasa digital terkait politik ini dijadikan alat propaganda yang empuk untuk saling menyerang, baik oleh si pendukung capres atau yang bersebrangan (tidak mendukung). Fenomena rekayasa digital ini bukan saja membuat rakyat menjadi galau, namun sudah mulai muak dengan banjirnya selubung kampanye hitam itu.
Apa yang harus dilakukan ketika rekayasa digital ini terjadi? Sebaiknya, publik sebagai konsumer informasi (information consumer)—terutama pengguna media sosial—dengan tumbuhnya kesadaran informasi (information awareness), perlu diberi saran agar mampu bersikap kritis terhadap informasi itu.
Dunia digital memang menciptakan sebuah realitas baru berupa tumpang tindihnya realitas dan rekayasa realitas (artificial realitas). Tidak salah pula, dimartirkan Jean Baudrillard—filsuf Prancis—sebagai kondisi dari hiperealitas. Dengan kata lain, realitas dapat disimulasi untuk menutupi, mengaburkan dan mendistrosi realitas dan kebenaran yang sesungguhnya.
Yasraf Amir Pilliang (2004: 265) “Sehingga ketimbang menyajikan informasi, hiperealitas justru menyuguhkan disinformasi, yakni informasi yang telah terdistorsi dan terkontaminasi. Cyberspase adalah ruang yang paling disarati oleh simulasi tersebut dan di dalamnya dapat dipalsukan, disimulasi, dan diciptakan model artifisialnya.”
Dunia digital memang memiliki realitasnya sendiri. Namun, saya pikir dalam dunia digital yang artifisial itu—ketika kampanye negatif mulai membludak, sepertinya sikap yang harus ditumbuhkan menurut pada dangdut: liriknya mengandung suara nestapa, tapi kita seakan-akan dipaksa berjoget. Tarik Mang!