Oleh: Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung
Dunia yang mengglobal seperti sekarang ini seakan sudah tidak memiliki sekat-sekat budaya dan batas geografis sebuah bangsa atau negara. Dunia telah menjadi desa buana (global village) yang nyata dan semakin dekat satu sama lainnya. Batas-batas kultural pun semakin tergoyahkan.
Karena antar satu bangsa antara satu sama lain begitu intensnya berinteraksi baik secara kultural bahkan secara politik ideologis. Hanya masyarakat pedalaman saja yang nampaknya belum merasakan dahsyatnya globalisasi yang disertai dengan kuatnya arus informasi.
Hampir seluruh wilayah dalam bumi ini telah didekatkan sedemikian rupaApa yang dihasilkan globalisasi salah satunya adalah digoyahkannya nilai-nilai tradisional. Nilai yang selama ini dipertahankan, seiring dengan arus informasi dan kultural yang luar biasa, secara gradual mulai ditinggalkan.
Ikatan primordial hanya menguat disaat terjadinya politisasi kepentingan tertentu atau disaat-saat tertentu. Selebihnya, individu telah menjadi "manusia modular" (meminjam istilah Giddens) sebagai warga desa buana (global village). Rasa kebangsaan melemah, karena dunia ini tidak tersekat oleh batas geografis dan kebangsaan.
Indonesia sebagai sebuah bangsa dalam sejarah kerap ditantang oleh berbagai gerakan separatisme. Sebagai sebuah bangsa yang memiliki banyak suku bangsa, Indonesia adalah imaji kebangsaan yang rentan untuk dihancurkan.
Karena sejarah Nusantara adalah sejarah kerajaan-kerajaan dengan apiliasi atas tradisi dan agama tertentu yang saling berperang satu sama lain. Berperang dengan dilandasi oleh semangat mempertahankan, merebut dan memperluas daerah kekuasaan atau penyebaran agama tertentu.
Persoalan Indonesia sangat sensitif yang memerlukan penyelesaian yang hati-hati dan komprehensif.
Pertama, dominasi satu suku atas suku lain. Jawaisme, begitulah kira-kira penyebutannya adalah realitas politik yang telah dibangun Soeharto, hal ini mau tidak mau menyebabkan kecemburuan sosial yang menyebabkan semakin akutnya ketegangan bahkan pertikaian antar suku. Jawa, mesti diakui menjadi etnis yang dominan dalam bidang politik dan institusi.
Kedua, para warga keturunan yang masih dianggap sebagai keturunan asing. Kasus 14 Mei adalah salah satu contohnya, betapa negara (baca:Soeharto) telah menggunakan sentimen etnis ini untuk melakukan penguasaan dan adu domba antar etnis. Kini patut berbahagia, berkat prakarsa Gus Dur, sewaktu menjadi Presiden, etnis Tionghoa mendapat tempat tersendiri.
Demikian halnya dengan pemerintahan Megawati dan SBY, etnis Tionghia kini menjadi anak bangsa yang tak terpisah dari Indonesia. Ketiga, persoalan agama yang bagaimana pun kecurigaan antar agama telah menyebabkan kerusuhan yang belum terselesaikan sampai hari ini, letupannya masih mungkin terjadi.
Di era Orde Baru, nasionalisme adalah milik negara dan didoktrinasikan kepada daerah atau etnis. Nalar nasionalisme (kebangsaan) bukan lagi milik masyarakat atau etnis, tetapi milik rezim yang dipaksakan oleh militer. Dalam kondisi ini, daerah atau etnis tidak memiliki wewenang untuk menafsirkan rasa kebangsaannya sendiri. Proses hegemoni ini berlangsung cukup lama dan telah membuat api dalam sekam. Itu semua dilakukan demi stabilitas keamanan dan politik negara.
Padahal, rasa kebangsaan itu tidak lahir dari paksaan, melainkan lahir dari "imaji kebersamaan" sebagai sebuah bangsa. "Imaji kebangsaan Indonesia" itu melampaui primordialisme, dan diikat oleh kenyataan historis kesepakatan para pendiri bangsa.
Rasa kebangsaan akan bertahan apabila dibina dengan rasa berkeadilan dan persamaan antar semua warga bangsa. Oleh karena nasionalisme adalah milik semua etnis dan warga bangsa, setiap etnis harus merumuskan semangat kebangsaannya setiap saat, dengan menengok kesadaran sejarah etnis itu sendiri.
Rasa Kebangsaan Orang Sunda
Dalam masyarakat politik Indonesia, "bangsa" dan "negara" bersanding seolah-olah tidak pernah ada persoalan antara keduanya. Padahal, bangsa adalah sesuatu yang terbang, imagined, tetapi bukan imajiner. Ia adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inhern sekaligus berkedaulatan.
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakekatnya bersifat terbatas dalam pengertian memiliki garis-garis perbatasan yang mesti elastis. Bangsa juga dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat. Konsep ini lahir dalam kurun dimana pencerahan dan revolusi memporakporandakan rasa kesukuan.
Sebagai sebuah komunitas, bangsa diyakini sebagai kesetiakawanan yang menjadi kesadaran terdalam individu komunitas. Bangsa adalah suatu proyeksi ke depan dan ke belakang untuk dikerjakan, diolah, sehingga bangsa menjadi sesuatu yang nyata. Bangsa hadir sebagai proses formasi yang "mengada" tanpa "lahir" dan mengisi kehadirannya dalam suatu proyek kediriannya yang ragam.
Dalam hubungan itu, masyarakat dalam citra keindonesiaan adalah proyek bersama semua komponen bangsa dan etnis. Ada "urun rembug"-rampak gawe- bersama dalam bayangan masing-masing yang bukan hanya membayangkan dirinya terlibat dalam bangsa dan kebangsaan akan tetapi membayangkan dirinya "mupuhuan" (memimpin dan memiliki) bahkan sedang menjalankan tugas berbangsa.
Bayang-bayang citra Indonesia ada dalam bayang-bayang etnis Sunda, Jawa, Bugis, Makasar dan lain-lain. Bayangan kebangsaan ini harus terus dipertahankan oleh generasi bangsa. Tetapi bukan dengan indoktrinasi dan hegemoni, melainkan dengan rasa keadilan dan persamaan antara semua warga bangsa.
Nasionalisme Indonesia adalah pandangan kelokalan yang menafsir dan merasakan diri menjadi bagian tak terpisahkan diri dari komunitas bayangan Indonesia. Dalam pengertian lain, daerah (baca:etnis) membaca pusat kekuasaan dengan semangat etnisitas dalam lingkup kesadaran kebangsaan.
Hakikat nasionalisme Indonesia sudah seharusnya dikembalikan kepada posisi yang seharusnya yakni nasionalisme yang multi etnik dan multi kultural. Keadilan, persamaan kedudukan sebagai warga bangsa adalah modal dan "ragi perekat" rasa kebangsaan tersebut.
Bagi etnis Sunda sendiri, dimana Sunda menjadi etnis terbesar ke dua setelah Jawa, citraannya atas Indonesia memiliki nuansanya tersendiri. Semasa pergerakan nasional, Otto Iskandar Dinata meneriakkan pekik "merdeka" pertama kali. Muhammad Toha, tokoh di balik "Bandung lautan api" adalah salah satu contoh peran sunda dan imaji orang sunda atas bangsa.
Demi mempertahankan Indonesia, Bandung dibumihanguskan. Bukan karena Sunda berada di pulau Jawa. Tetapi, orang Sunda merasa menjadi bagian dari imaji kebangsaan yang bernama Indonesia yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Padahal, orang Sunda sangat mungkin mendirikan negara Pasundan.
Bahkan, bukankah DI/TII pusat gerakannya ada di Jawa Barat. Mengapa inohong Sunda saat itu tidak mendirikan atau mendukung kedua gerakan yang dianggap memberontak oleh Pemerintah Pusat saat itu. Orang Sunda adalah masyarakat yang tetap menjaga janji para karuhun yang menyatakan bersama dan menyatu dalam negara Indonesia.
Begitu juga hari ini, peran sunda dalam "ngaheuyek" negara sangat tidak di ragukan lagi. Sesungguhnya peran baru yang mesti di ciptakan adalah bagaimana dihadirkan upaya bagi bangun kesadaran kelokalan-keindonesiaan. Etnis sunda sendiri telah menunjukkan upayanya yang sungguh-sungguh bagi upaya "ngaping ngajaring" bangsa.
Sebab bagi orang Sunda, "dina diri urang Sunda aya Indonesia". Ketika orang Sunda melakukan pembacaan ulang atas tradisinya sendiri jangan diartikan sebagai tindakan separatis atau tidak nasionalis. Karena "urang sunda" punya tafsiran yang pasti bagi bangun kebangsaan.
Demikian halnya, para inohong, pejabat negara yang beretnis sunda sangatlah banyak. Sebut saja, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, beberapa menteri dan tokoh nasional lainnya.
Adalah tugas bersama-sama dengan etnis lain untuk "ngaheuyek migawe" bangsa Indonesia. Dengan salah satu falsafah hidupnya, yaitu : "silih asah silih asih, silih asuh", orang Sunda mempunyai citraan tersendiri atas bangsa ini. Peranannya yang optimal tentunya diharapkan, betapa tidak, dengan prinsip itu, Sunda di harapkan tampil menjadi bagian tak terpisahkan dari proyek bersama bangsa.
Orang Sunda mesti siap makalangan dan memberi corak, bersama corak-corak yang lain, dalam mewarnai bangsa. Orang Sunda harus memimpin daerah dan bangsanya bukan sebagai kepentingan kelompok atau orang Sunda semata, melainkan demi kebersamaan dalam sebuah bangsa yang bernama Indonesia.
Sumber: https://iu-rusliana.blogspot.com