Kekerasan di alam nyata telah membuka katup kesadaran beberapa komunitas di dunia maya bersuara ikhwal pentingnya menciptakan perdamaian. Suara-suara dialogis, semangat pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi mereka gaungkan dalam wujud media.
Dengan konten yang mengajak setiap pengunjung untuk mempraktikkan toleransi, diharapkan dapat mengubah paradigma keagamaan mereka. Misi perdamaian pun disuarakan dari corong mayantara melintasi ruang geografis kenegaraan. Tujuannya untuk mempromosikan pandangan konstruktif dan dialog tentang berbagai isu perdamaian, dalam rangka menciptakan tatanan dunia yang aman.
Karen Ross & Virgina Nightingale, dalam buku bertajuk Media and Audiences (2003: 99-100) menyatakan, “It is now commonly understood that the media’s impact is less about actively changing values and beliefs than about determining what issues are important for the electorate to know about. In particular, studies suggest that news media are seen as mostly confirming the views of citizens and reinforcing prejudices, rather than challenging assumptions…”.
Apa yang saya kutip dari Karen Ross & Virgina Nightingale di atas, mengindikasikan perlunya merancang media baru untuk mengubah pandangan warga (citizens). Mereka berdua berpendapat bahwa dampak media kurang aktif mengubah nilai-nilai dan keyakinan hingga tidak terkonsentrasi pada menentukan apa masalah yang penting diketahui.
Secara khusus, penelitian menunjukkan bahwa media lebih banyak mengkonfirmasikan pandangan warga dan prasangka, daripada menantang asumsi. Keragaman dalam hidup umat manusia ialah keniscayaan. Tanpa keragaman, tak ada yang namanya kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Kehadiran media, di dalam demokrasi, menjadi pilar pengontrol masyarakat (social control). Pun begitu di dunia mayantara. Kita membutuhkan alat pengontrol yang dapat mengarahkan individu-individu agar tidak menjadikan laku keras sebagai jalan menyelesaikan perbedaan.
Wawasan yang luas atas perbedaan di muka bumi membutuhkan kampanye terstruktur yang digemborkan media, baik mainstream maupun media alternatif.
Potret pemahaman yang intoleran terhadap keragaman menjadi tanggung jawab pemerintah, tokoh agama, publik, dan media (baik mainstream maupun alternatif) agar membiasakan dialog dan pandangan kontruktif.
Masyarakat harus dibiasakan hidup berdampingan dalam suasana perbedaan (plural). Seperti yang terjadi di dunia mayantara. Perbedaan ialah hal biasa yang tak perlu diperdebatkan lagi, akan tetapi dihargai dan dihormati.
Setiap pengguna situs jejaring facebook, misalnya, sama-sama menggunakan layanan kendati berbeda pemahaman dengan seseorang. Keterbukaan seperti inilah yang diharapkan tumbuh di dunia keseharian kita.
Di era cyber saat ini, di tengah kegandrungan massa atas internet, kehadiran new media yang melaporkan pandangan-pandangan dialogis dan konstruktif mendesak dilakukan stakeholders.
Pemahaman moderat atas perbedaan harus memenuhi konten cyber sehingga para pengguna tidak dijejali ajaran-ajaran radikalistik, anarkistis, dan chaosistis dalam menjalankan keberagamaannya.
Ketika netizen melakukan browsing dengan search google engine, misalnya, mereka tidak dibawa pada link-link yang berisi konten penghujatan dan cenderung SARA.
Mari kita gelorakan pandangan-pandangan dialogis dan konstruktif di internet demi terwujudnya perdamaian di negeri tercinta, Bumi Indonesia ini. Yuk kita kampanyekan konten yang hadirkan pandangan konstruktif ikhwal perdamaian!