Kekayaan Negeri Indonesia tak hanya berkisar pada melimpahnya sumber daya alam. Dengan penduduk yang melebihi 220 juta jiwa, siapa pun tak dapat menyangkal kalau negeri ini menyimpan “manusia-manusia unggul”. Taruh saja dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, minimalnya 0.5 persen terdiri dari orang-orang jenius di berbagai bidang.
Dari jumlah tersebut, maka akan ada sekitar 12.5 juta warga Indonesia jenius otaknya yang siap memajukan negeri ini. Namun, realitas membuktikan kehebatan otak warga Indonesia tak menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri.
Bangsa kita terdiri dari manusia-manusia mandiri dan kreatif, baik sebagai pekerja maupun sebagai inventor yang menghasilkan produk. Pemerintahan semestinya dapat mengayomi mereka sehingga iklim kehidupan di negeri ini mengejawantahkan kompetisi kreatif di berbagai sektor.
Betul, saya pikir, kalau Indonesia merupakan tempat manusia-manusia kreatif. Akan tetapi, keberadaan mereka mesti diperhatikan oleh para pemangku jabatan. Tanpa adanya perhatian, tak ubahnya bagai segerombol ikan mas di dalam kolam, yang tak diperhatikan majikannya. Ikan tersebut akan mati sia-sia.
Pun begitu dengan yang terjadi pada generasi muda bangsa ini. Tanpa memiliki “political will” dari para politisi, pejabat, dan abdi negara lain yang terkait [stakeholders]; kejeniusan, kreativitas dan inovasi mereka akan terhambat. Akibatnya, negeri ini akan ditinggalkan para kreator ulung.
Saya tidak begitu setuju kalau Indonesia “minim orang-orang hebat”. Saya juga tak begitu senang kalau kita terjebak pada romantisme historik yang skeptis. Bung Karno, Tan Malaka, Bung Hatta, Jendral Ahmad Yani, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Muhammad Yamin dan para “founding father” lainnya merupakan orang-orang hebat.
Kita melupakan ajaran bernegara yang diletakkan mereka. Ketika negeri ini merdeka, mereka optimis memandang masa depan tanpa terus terjebak pada romantisme masa lalu. Dalam pikiran mereka hanya satu, bagaimana pemikirannya dapat menyuntikkan semangat untuk bangkit bagi bangsa ini.
Kita kehilangan falsafah “garam” dalam bernegara, lebih mementingkan falsafah “gincu” ketika terjun di ranah politik praktis. Yaitu tadi, yang terjadi adalah kita menebarkan simbol-simbol kepartaian yang bersifat “cangkang” luar. Ketika parpol sekelas PKS memproklamirkan inklusifitas, kita rame-rame mencela bahkan mengancam untuk tidak akan memilihnya pada pemilu mendatang.
Padahal, saya lihat inilah bentuk kemajuan berpikir umat Islam; di mana perjuangan menegakkan nilai-nilai dalam berpolitik tidak perlu menggunakan “merek” Islam. Selamat buat PKS yang kini terbuka pada berbagai golongan. Yang jelas, mari kita bangkitkan negeri ini. Bukan malah dirusak dengan menebarkan laku korup.
Kreativitas warga kita mesti diarahkan pada sesuatu yang positif. Bukan kreatif ketika menilap anggaran saja. Apalagi, di era kebebasan informasi ini. Menjadi keniscayaan bagi berbagai pihak terkait untuk mendukung warga-bangsa memperoleh haknya dalam mengembangkan minat, bakat, inovasi, dan kreativitasnya dengan pemberian penghargaan dari para pemanggku kebijakan.
Tanpa ada dukungan dari mereka, bersiap-siaplah kalau anak bangsa ini banyak yang berlarian ke negeri orang. Betul bahwa membela Negara harus dilakukan sepanjang hayat. Kesadaran bela Negara harus dipupuk hingga melahirkan kreasi dan inovasi untuk kemajuan Negara-bangsa (nation-state). Kita harus melahirkan kesadaran berindonesia dalam diri dengan menelorkan karya kreatif mengedepankan konten kekayaan budaya Nusantara.
Bagi kalangan muda, kesadaran berindonesia itu tidak harus mencelubkan diri di dunia politik praktis. Tapi, pada kemampuan berkarya di bidang yang digelutinya masing-masing. Entah itu di bidang ekonomi, sosial, keagamaan, kemasyarakatan, bahkan untuk konteks kekinian, ada banyak kalangan muda yang menghasilkan karya kreatif di bidang teknologi komunikasi dan informatika.
Oleh karena itu, terus memacu diri mengeluarkan bangsa dari aneka penjajahan laten adalah keniscayaan. Sebagai tanda kita bangsa yang beradab, salah satunya dengan cara menelurkan karya kreatif.
Misalnya, indsutri kreatif di berbagai subsektor, yang mengadopsi kekayaan budaya lokal dicetuskan merupakan wujud bela Negara di kancah internasional. Salah satunya adalah kreasi kalangan muda Indonesia yang merancang kode digital dalam pembuatan batik yang bisa dicetak jarak jauh menggunakan rumus matematika Fractal.
Itu sebagian kecil dari daya kreatif anak muda kita, yang jika dikelola akan menghasilkan kekuatan ekonomi bangsa ke depan. Sebetulnya, Negara kita menyimpan kekayaan budaya yang bisa dijadikan konten lokal dalam membangun industri kreatif.
Itu sebagian kecil dari daya kreatif anak muda kita, yang jika dikelola akan menghasilkan kekuatan ekonomi bangsa ke depan. Sebetulnya, Negara kita menyimpan kekayaan budaya yang bisa dijadikan konten lokal dalam membangun industri kreatif.
Apalagi dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia. Momentum bela negara semestinya jadi perantara mengangkat bangsa agar bisa sejajar dengan bangsa luar.
Maka, yang terpenting saat ini adalah bela negara tidak saja dengan mengangkat senjata. Tapi, dengan mengangkat bangsa dari keterpurukan di bidang ekonomi dengan menelurkan gagasan-gagasan cemerlang, bergelut di industri kreatif.
Maka, yang terpenting saat ini adalah bela negara tidak saja dengan mengangkat senjata. Tapi, dengan mengangkat bangsa dari keterpurukan di bidang ekonomi dengan menelurkan gagasan-gagasan cemerlang, bergelut di industri kreatif.
Di samping itu, memodali diri dengan semangat yang memberdayakan sehingga tercipta kesejahteraan hidup juga harus tetap dipupuk dalam diri. Maka, di hari ini, semestinya kita mengembara ke alam bawah sadar, memperkokoh keindonesiaan kita sehingga bisa melahirkan karya kreatif agar bangsa lebih tersejahterakan.
Sebab, musuh bersama yang harus diusir dari Negara Indonesia saat ini adalah persoalan ketidaksejateraan yang diakibatkan minimnya penghargaan pemerintah terhadap kreasi dan inovasi anak-anak negeri.
Mudah-mudahan ke depan, bangsa kita dapat menyejajarkan diri dengan bangsa lain, karena realitas kenegaraan kita lebih kaya dengan potensi-potensi lokal. Dan, di Negara lain hal itu susah diperoleh.
Mudah-mudahan ke depan, bangsa kita dapat menyejajarkan diri dengan bangsa lain, karena realitas kenegaraan kita lebih kaya dengan potensi-potensi lokal. Dan, di Negara lain hal itu susah diperoleh.
Kalau kita bisa membela negara dengan berkreasi memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, tidak relevan kalau masih mengangkat senjata membela negara tercinta. Itulah tujuan inti dari membela Negara Indonesia.