Oleh: Pungkit Wijaya, Penulis Lepas
Pada hakikatnya, kebudayaan nasional adalah satu kesatuan yang dibangun oleh kebudayaan lokal, begitu juga sebaliknya. Saling mengisi satu sama lain- simbiosis mutualisme dalam pola kehidupan masyarakat Indonesia. Namun kini budaya lokal harus ditumbuhkan agar menjadi pijakan masyarakat daerah tertentu, dalam arti “teu pareumeun obor”.
Lokalitas sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur. meski kerap lokalitas budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas yang mendiaminya, Secara metaforis, ia merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu.
Namun kini Meski disadari atau tidak hegemoni nasionalitas dan globalitas merangsek ke dalam sum-sum tulang lokalitas, sebab tulang itu begitu keropos. Di sisi lain, yang menjadi diam akan rapuh dan meskipun bergerak tetapi kalau tidak melakukan perlawanan yang significant terhadap hegemoni tersebut maka akan tertindas juga.
Sangat ironi sekali ketika melihat kenyataan hari ini, kenapa? Pasalnya kebudayaan luar tergabung dalam nasionalitas maupun globalitas itu di sambut dengan manggut-manggut saja. Artinya kalau saja yang datang dari luar tersebut kita sambut dengan ‘heueuh-heueuh buek’’ maka dari itu kita dapat berani mengedepankan superioritas penerima pengaruh tersebut.
Salah satu produk budaya yakni bahasa. Karena erat hubungan antara bahasa dengan kebudayaan, konon kebanyakan pakar menyamakan hubungan keduanya itu sebagai bayi kembar siam, atau sekeping mata uang; sisi lain yang satu adalah bahasa dan sisi lain adalah budaya.
Hipotesis ini juga disuarakan oleh dua pakar, yaitu Edward Sapir dan Benjamin lee Whorf yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas, bahasa itu mempengaruhi cara berfikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Jadi, bahasa itu menguasai cara berfikir dan bertindak manusia.
Di sisi lain, lokalitas bahasa dapat menjadi acuan untuk dipakai dalam kegiatan sehari-sehari. Khususnya Jawa Barat sebagai masyarkat sunda. Oleh karena itu, di setiap lini nampaknya harus bisa merekontruksi. Agar terjadi proses dialektika.
Semisal penggunaan bahasa lokal dalam pola peningkatan kesadaran masyarakat yang nantinya dapat berjalan seiring dengan peningkatan kebudayan lokalitas.
Dengan demikian, kita sebagai masayarkat sunda tidak lantas melupakan bahasa indungnya sendiri ‘ budak poho kanu jadi indungna’ dengan kata lain, bukan berarti harus menolak bahasa atau pun kebudayaan nasional maupun global tetapi coba untuk mempunyai sikap yang mampu untuk mencair dan melawan. Tentu saja jangan sampai terkesan malu terhadap lokalitas.
Dari sinilah perayaan bahasa ibu internasional di peringati sebagai bagian memperkuat eksistensi bahasa ibu, pernyataan ini juga senada dengan apa yang di dengungkan UNESCO. Bahwa moment internasional tersebut untuk lebih menghargai nilai keberadaaan bahasa lokal. Maka dari itu sebaiknya kita sebagai masyarakat bahasa dapat bercermin, mencerna dalam-dalam dan mulai mempunyai rasa kesadaran (sense of belonging) terhadap lokalitas bahasa.
Di sisi lain dapat dilihat dari unsur-unsur lokalitas bahasa. Maka kita akan berbicara tentang bahasa pertama yang digunakan seseorang. Oleh karena itulah, bahasa lokal dapat di identifikasikan bahasa ibu.
Dengan demikian, bahasa ibulah yang diasumsikan paling dekat dengan anak untuk pertama kalinya, maka bahasa yang pertama dikuasai anak dinamakan bahasa ibu atau bahasa pertama, karena merupakan bahasa pertama yang diperoleh.
Seumpama membaca tentang kebijakan bahasa di Alzajair,. Di sana, menggunakan bahasa Tamazir yaitu bahasa Berber, sebagai bahasa lokal. atau berbahasa dialek Arab yang oleh orang setempat dinamakan “bahasa Aljazair” ataupun berbahasa Arab klasik, benar-benar dapat merupakan soal hidup atau mati,. orang bisa di bunuh identitasnya. karena bahasa tadi dianggap bahasa ibu.
Akan tetapi, kenyataan mengatakan produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global globalisasi adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain.(A.G. Mc.Grew, 1992).
Proses perkembangan globalisasipun pada awalnya ditandai kemajuan bidang teknologi informasi dan komunikasi. Bidang tersebut merupakan penggerak globalisasi.
Dari sisi inilah, dalam kemajuan bidang tersebut, kemudian mempengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.
Contoh sederhana dengan teknologi internet, parabola dan TV. akankah dalam moment bahasa ibu internasional ini khusunya Jawa Barat yang notabene bahasa ibunya “ Sunda” akan lebih terseret dalam arus globalisasai ataupun sebaliknya, semoga harapan kita sama, Selamat memperingati bahasa ibu internasional.