Sekira 2007-2008 yang lalu, cerita Haji Hamzah MD, seorang mantan anggota DPRD Bontang Kalimantan Timur periode 2000 - 2004 terbilang unik dan menggelitik. Ia pulang-anting ke KPK melaporkan bahwa dirinya terlibat kasus korupsi mark-up dana sekretariat DPRD 2001-2004 sebesar 44,6 miliar rupiah, tapi tak ada yang menggubrisnya. Klik Disini sumber beritanya ya...
Tepatnya di Bundaran HI, mantan anggota Dewan yang mengaku koruptor insyaf ini membacakan puisi berjudul: "Wahai Koruptor".
Dengan suara lantang, ia berteriak membaca larik puisi dari kesadaran terdalamnya sebagai berikut:
Kau peras negeriku/kau hisap bangsaku/kau bodohi rakyatku/kau injak-injak Indonesia //Dimanakah hati nuranimu/dimanakah nalarmu/dimanakah empatimu/ benarkah jiwa, hati...matamu dan telingamu tertutup//Pintu-pintu kubur akan terbuka/malaikat-malaikat menyapamu/semua tubuhmu akan ditanya/keculasanmu, ketidakjujuranmu harus engkau pertanggungjawabkan//
Saya berdecak kagum. Apalagi di tengah merebaknya perselingkuhan antara hukum dan pejabat di negeri ini. Ketika orang lain berkelit dari tuduhan korupsi meski fakta membuktikan ia manusia korup, Haji Hamzah MD justru bertindak sebaliknya. Ketika orang lain lari tunggang langgang ke negeri asing, ia malah menghampiri pusat pemberantasan korupsi di negeri ini (baca: KPK).
Meskipun dahulu ketika ia menjabat sebagai anggota legislatif, tidak sadar bahwa menandatangani pencairan dana tersebut merupakan praktik korupsi. Mengakui telah melakukan praktik korupsi, bahkan menyebut dirinya sebagai koruptor insyaf adalah indikasi masih terbukanya gerakan antipolitikus busuk di bumi tercinta ini.
Terlepas dari kepentingan yang terselip dalam komunikasi politik yang dijalankannya; kita harus angkat topi. Gejala ini juga mengindikasikan bahwa di dalam diri pejabat masih terhunjam titik Tuhan (God spot). Sehingga masih menyisakan tetes demi tetes suara hati nurani.
Puisi mbeling di atas memang kontekstual dengan perilaku politikus negeri ini. Apalagi, di tengah problem sosial yang terus mengimpit bangsa, dengan kemiskinan yang mencapai lebih kurang sekitar 108 juta jiwa, bangsa kita tengah berada pada sisi tanduk kehancuran.
Saudara kita (para politikus) seakan tidak merasakan penderitaan rakyat. Mereka acapkali menandatangani, misalnya, surat izin perusahaan kemudian diberi “uang lelah” menyusun draf RUU. Itu dilakukan meskipun merugikan publik dan mencekik ranah kegiatan sosial ekonomi.
Kau peras negeriku/kau hisap bangsaku/kau bodohi rakyatku/kau injak-injak Indonesia //Dimanakah hati nuranimu/dimanakah nalarmu/dimanakah empatimu/ benarkah jiwa, hati...matamu dan telingamu tertutup//Pintu-pintu kubur akan terbuka/malaikat-malaikat menyapamu/semua tubuhmu akan ditanya/keculasanmu, ketidakjujuranmu harus engkau pertanggungjawabkan//
Saya berdecak kagum. Apalagi di tengah merebaknya perselingkuhan antara hukum dan pejabat di negeri ini. Ketika orang lain berkelit dari tuduhan korupsi meski fakta membuktikan ia manusia korup, Haji Hamzah MD justru bertindak sebaliknya. Ketika orang lain lari tunggang langgang ke negeri asing, ia malah menghampiri pusat pemberantasan korupsi di negeri ini (baca: KPK).
Meskipun dahulu ketika ia menjabat sebagai anggota legislatif, tidak sadar bahwa menandatangani pencairan dana tersebut merupakan praktik korupsi. Mengakui telah melakukan praktik korupsi, bahkan menyebut dirinya sebagai koruptor insyaf adalah indikasi masih terbukanya gerakan antipolitikus busuk di bumi tercinta ini.
Terlepas dari kepentingan yang terselip dalam komunikasi politik yang dijalankannya; kita harus angkat topi. Gejala ini juga mengindikasikan bahwa di dalam diri pejabat masih terhunjam titik Tuhan (God spot). Sehingga masih menyisakan tetes demi tetes suara hati nurani.
Puisi mbeling di atas memang kontekstual dengan perilaku politikus negeri ini. Apalagi, di tengah problem sosial yang terus mengimpit bangsa, dengan kemiskinan yang mencapai lebih kurang sekitar 108 juta jiwa, bangsa kita tengah berada pada sisi tanduk kehancuran.
Saudara kita (para politikus) seakan tidak merasakan penderitaan rakyat. Mereka acapkali menandatangani, misalnya, surat izin perusahaan kemudian diberi “uang lelah” menyusun draf RUU. Itu dilakukan meskipun merugikan publik dan mencekik ranah kegiatan sosial ekonomi.
Jadi, saya kira bangsa ini tengah berada pada kesia-siaan hidup tatkala kaum elit hanya mendengkur di kursi empuk kekuasaan. Kesia-siaan meruang dan mewaktu ini – meminjam kisah Film Ayat-Ayat Cinta – laiknya si Maria yang berjuang melawan rasa sakit hingga ujung hayat. Apakah bangsa kita akan bernasib sama dengan Maria? Ia menderita, bahagia, dan harus berpisah dengan pelabuhan cintanya.
Dalam perspektif komunikasi politik, ada beberapa hal penting untuk diperhatikan, pertanggungjawaban Hamzah MD merupakan proses pendidikan politik dan teladan pembudayaan nilai-nilai pancasila. Selain itu, adanya pemupukan partisipasi politik dan kontrol sosial masyarakat terhadap koruptor.
Dalam perspektif komunikasi politik, ada beberapa hal penting untuk diperhatikan, pertanggungjawaban Hamzah MD merupakan proses pendidikan politik dan teladan pembudayaan nilai-nilai pancasila. Selain itu, adanya pemupukan partisipasi politik dan kontrol sosial masyarakat terhadap koruptor.
Ini dilakukan dengan berusaha menyehatkan kembali lembaga politik, baik suprastruktur maupun infrastruktur sistem politik Indonesia agar berfungsi sesuai dengan Undang-Undang. Terakhir, terasa ada upaya sanggahan atas merebaknya praktik pembusukan politik (politic decay) di Indonesia dengan cara menyedekahkan diri ke KPK.
Sekali lagi, sedekah diri dengan melaporkan bahwa dirinya terlibat dalam praktik korupsi, terlepas dari pelbagai kepentingan yang melatarinya, adalah langkah awal untuk menghidupkan praktik politik luhur (high politic). Maka, kehadiran politikus moralistis di tengah merebaknya isu praktik penggerogotan lembaga legislatif di tiap daerah, ialah keniscayaan tak nisbi.
Sekali lagi, sedekah diri dengan melaporkan bahwa dirinya terlibat dalam praktik korupsi, terlepas dari pelbagai kepentingan yang melatarinya, adalah langkah awal untuk menghidupkan praktik politik luhur (high politic). Maka, kehadiran politikus moralistis di tengah merebaknya isu praktik penggerogotan lembaga legislatif di tiap daerah, ialah keniscayaan tak nisbi.
Seperti yang dikatakan Immanuel Kant, politikus moralistis adalah orang-orang yang mempraktikkan politik dengan panduan moral. Berbeda dengan moralis politis, mereka menggunakan moral sebagai alat mewujudkan ambisi pribadi dan kelompoknya.
Oleh karena itu, bagi para pejabat korup mari kita sedekahkan diri kepada KPK, sebagai wujud pertanggungjawaban. Tapi ada yang mau nggak ya?
Oleh karena itu, bagi para pejabat korup mari kita sedekahkan diri kepada KPK, sebagai wujud pertanggungjawaban. Tapi ada yang mau nggak ya?