KEBEBASAN menentukan nasib sendiri, kata Franz Magnis Suseno, adalah inti eksisnya martabat manusia. Namun, kebebasan itu tak boleh dipersaldokan dengan pelbagai kepentingan (sektarian) yang akan merendahkan harkat dan martabatnya. Begitu pun dengan bangsa Indonesia. Kebebasan menentukan diri sebagai bangsa mandiri ialah tanda mulai bangkitnya dari keterpurukan akibat penjajahan.
Apalagi penjajahan kini mewujud dalam bentuk yang baru dan sedemikian massif menekan serta melunturkan rasa keindonesiaan yang terpateri di hati sanubari. Suara tuntutan membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan – di masa pra kemerdekaan – bukan hanya milik suku Jawa, Sunda, Batak, Melayu; tapi milik seluruh bangsa yang gandrung dirinya menjadi manusia merdeka. Itulah rasa keindonesiaan yang menyatukan keterceceran perjuangan bangsa.
Maka, ketika kemeriahan jadi fenomena rutinitas tatkala bangsa ini menyambut hari kemerdekaan tak sepatutnya melenakan diri dari misi pembebasan 76 tahun silam. Maka, tanggal 17 Agustus mestinya berubah jadi satu tanggal yang mengundang hormon nasionalisme di jiwa pemuda, aktivis organisasi sosial, rakyat biasa dan pejabat Negara memuncak hingga memicu lahirnya semangat perubahan.
Kegembiraan dan kegelisahan!
Sudah pasti, atmosfer kegembiraan bakal terasa setiap kali bangsa ini memperingati hari kemerdekaan dengan perayaan beraneka ragama. Perlombaan rakyat, diskusi kaum akademisi, upacara pengibaran bendera merah putih, dan pawai kendaraan mewakili gegap gempita “agustusan”. Namun, di tengah ingar-bingar perayaan, jutaan rakyat miskin di setiap daerah merepresi kegelisahan. Warga di Sidioarjo sampai hari ini menahan kekecewaannya, dan berjuta masalah dehumanisasi menghantui bangsa kendati 76 tahun lamanya merdeka.
Belum lagi soal kemiskinan yang terus menjejali dan mengancam eksistensi bangsa, mengindikasikan bangsa ini tengah terjajah dan hanya memeroleh kemerdekaan semu. Lantas, akankah bangsa terus bergelut dengan "kemerdekaan semu" karena kita hanya memeringati hari kemerdekaan tanpa pembebasan rakyat dari kebijakan-kebijakan sumbang yang menggelisahkan? Tepatkah, ingar-bingar prosesi “agustusan” hanya dihiasi aktivitas "ketawa-ketiwi", tatkala bangsa berada pada lubang ketidaksejahteraan akibat merajalelanya ketidakadilan struktural?
Seperti dikatakan sastrawan kondang Chairil Anwar, Sekali berarti/setelah itu mati. Maka, bangsa kita – seperti saat zaman prakemerdekaan – harus memiliki semangat progresif mengeluarkan bangsa dari keterpurukan. Itulah keberartian hidup yang mesti dipegang teguh tiap elemen kebangsaan. Keberartian diri sebagai manusia Indonesia adalah tujuan utama yang mampu mengokohkan keindonesiaan sehingga terwujudlah kemerdekaan pada tahun 1945. Waktu itu kita merdeka. Namun tak sepenuhnya merdeka. Ada berjumput soal yang harus dihadapi bangsa. Pemberontakan, agresi Belanda, dan soal ketidaksejahteraan ekonomi.
Tahun ini, kemerdekaan Indonesia jelang 76 tahun. Adakah perubahan berarti yang jadi petanda bahwa kita bangsa berharkat dan bermartabat. Kenaikan harga BBM menambah daftar panjang warga miskin, dunia pendidikan hanya bisa dikecap anak bangsa kaya, dan mahalnya bahan pokok juga jadi kekerasan simbolik yang menghalangi rasa keindonesiaan kita. Bahkan, kursi empuk kekuasaan pun diburu laiknya menjangan di hutan belantara. Sekali memimpin negeri/setelah itu kembali, adalah filsafat politik orang-orang yang mengaku bapak bangsa negeri ini.
Menyongsong masa depan
Kini, musuh bersama kita berubah bentuk menjadi tak terlihat, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, mahalnya biaya pendidikan dan pelbagai masalah sosial yang mengimpit bangsa ini. Lantas, mampukah Indonesia menyongsong masa depan, bangkit dan melawan musuh bersama itu? Akankah bangsa ini mampu membangun rasa keindonesiaan sebagai modal sosial menggapai cita-cita kebebasan sebagai manusia merdeka yang berharkat dan bermartabat?
Oleh karena itu, semangat heroik yang bisa membebaskan bangsa dari penjajahan laten adalah tema yang pas diangkat dalam menjustifikasi prosesi hajatan besar yang digagas rakyat dari pelbagai elemen, strata sosial, agama dan organisasi kedaerahan di bulan Agustus ini. Itulah satu bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa para pejuang kemerdekaan. Tak arif rasanya setelah bulan Agustus berlalu, kesadaran heroik kita seakan meredup bagai cahaya lilin terembusi angin.
Andai hal itu dipraktikkan akibatnya bangsa kembali terjajah, tertindas, tersiksa, bahkan terenggut hak-hak asasi kemanusiaannya untuk hidup sejahtera oleh penjajahan berwajah baru yang banyak dilakukan bangsa sendiri. Penjajahan bangsa sendiri itu bisa dalam bentuk kebijakan diskriminatif menaikkan harga kebutuhan pokok, kemudahan izin mengeksploitasi kekayaan alam, dan segala hal yang mengakibatkan bangsa ini terus bergulat dengan ketidaksejahteraan. Ketika bangsa Indonesia bertemu dengan tanggal 17 Agustus, hendaknya dijadikan sebagai awal start pencarian bekal dan persiapan untuk menghadapi segala soal dehumanisasi yang melilit bangsa ke depan.
Sebab, tatkala proklamasi kemerdekaan mengumandang 76 tahun silam, tidak serta merta tahun berikutnya bangsa ini bebas dari penjajahan. Rakyat dan pemerintahan yang baru berdiri saat itu, berjuang hingga titik darah penghabisan mengeluarkan bangsa dari serangan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sebagai penjajahan berwajah baru. Oleh karena itu, terus memacu diri untuk membebaskan (liberation) bangsa dari penjajahan laten dan simbolik adalah keniscayaan sebagai misi suci projek liberasi “agustusan”.
Penjajahan hari ini seakan memperbarui diri sehingga kita tidak menyadari bahwa pada dasarnya kita tengah memeluk kemerdekaan semu. Maka, perlawanan yang dilakukan mestinya menampakkan hikmat dan kebijaksanaan – sebagai tanda bangsa beradab – yakni memenuhi kesejahteraan rakyat. Sebab, musuh bersama yang harus diusir dari bumi Indonesia kini adalah soal ketidaksejahteraan yang diakibatkan sulitnya merealisasikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahua'lam