Ketakutan para aktivis budaya lokal Sunda terhadap hilangnya etnis Sunda di masa mendatang, salah satunya kepunahan bahasa Sunda, memang logis. Namun, memproteksi generasi muda Sunda terhadap kebudayaan luar akan mematikan daya kreatif manusia Sunda ke depan. Alhasil, Sunda – sebagai gerakan kultural – akan meninabobokan dirinya di dalam tempurung yang sempit, kaku, stagnan, dan rigid; sehingga dari sisi peradaban akan tertinggal jauh.
Menurunnya jumlah penutur bahasa Sunda, saya pikir disebabkan oleh kurangnya kecintaan warga dan ada kerumitan tata-aturan (undak-usuk) berbahasa sehingga urang Sunda kiwari takut berbicara dengan bahasa ibu karena tak mau dicap sebagai orang tak berbudaya luhur.
Saya pikir, bahasa Sunda akan terus mencari bentuknya dan mengikuti perkembangan zaman (berproses), seperti halnya, ketika ia (Sunda) dipengaruhi budaya Budha-Hindu (India), Jawa, Arab, dan Belanda. Tentunya khazanah kebudayaan luar Sunda itu – terutama bahasanya – banyak diadopsi, dikreasi, dan dihibridasi ke dalam horizon masyarakat lokal Sunda.
Muhammad menjadi mad atau mamad, Aisyah menjadi Isah, al-ardhi menjadi arde, dan masih banyak lagi contoh kreativitas masyarakat Sunda zaman baheula. Mereka tidak serta merta bendu, ambeuk, marah, ghadab, atau angry kepada generasi mudanya ketika dalam keseharian (lisan atau sastra) memasukkan kata dari bahasa etnik luar.
Teu nanaon ah!
Seorang penulis, ia merasa kecewa ketika ada pelayan di restoran khas Sunda (entah di jalan apa) menawarkan menu makanan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan mengklaim sebagai wujud ketidakpedulian terhadap pelestarian budaya Sunda. Boleh jadi, lho, si pelayan itu di rumahnya bertutur, bercakap-cakap, berperasaan dan berperilaku sebagai seorang Sunda pituin ketika tahu bahwa yang diajak bicaranya adalah orang Sunda.
Lantas, kenapa ia bertutur bahasa Indonesia ketika melayani? Mungkin, ia berusaha menjaga perasaan si pelanggan, jangan-jangan ia berasal dari luar etnik Sunda atau boleh jadi si pelayannya bukan orang Sunda (?). Sama seperti saya tatkala makan di rumah makan Padang, mereka menawarkan menu makanan dengan menggunakan bahasa Indonesia, “dengan apa menunya, mas?”. Mereka tidak menggunakan bahasa suku Melayu, toh.
Lagi-lagi di akhir kalimatnya, orang di luar Jawa bahkan urang Sunda sekalipun ketika menggunakan bahasa Indonesia, mengutip kata “Mas” di akhir kalimat. Tapi, tidak apa-apa, karena saya menyadari bahwa Bandung merupakan kota yang dipenuhi orang-orang dari pelbagai suku. Dan, tentunya dengan pluralitas etnik ini, bahasa Sunda di kota Bandung akan menemukan wujud baru yang lebih unik, hibrid, dan multietnik.
Ketika beberapa bulan ke belakang, ada penelitian yang menggemparkan sekaligus kontroversial, karena – katanya – warga Sunda tidak lagi menggunakan bahasa Sunda ketika berkomunikasi dengan sesama Sunda. Tentu saja kita semua seakan “kebakaran jenggot”, apalagi sesepuh guru bahasa Sunda. Mereka (generasi muda, orang tua, guru, bahkan aparat pemerintahan) dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap penurunan urang Sunda yang berbahasa Sunda.
Kalau sampel penelitiannya urang Sunda di perkotaan, itu logis terjadi. Sebab, perkotaan merupakan tempat terbesar kaum urban, yang mengakibatkan sebuah kota (terutama Bandung) dijejali para pendatang dari pelbagai etnik, bangsa, agama, bahkan ideologi. Hal itu akan memengaruhi masyarakat menggunakan bahasa nasional agar lebih dimengerti dan dipahami warga dari pelbagai kalangan.
Jadi jangan heran kalau di Bandung, kita hanya sesekali mendengar ABG-ABG atau generasi muda Sunda yang bertutur dengan menggunakan bahasa Sunda. Kalaupun bertutur bahasa Sunda; saya, generasi muda dan masyarakat Sunda kiwari, banyak yang tidak taat terhadap undak-usuk bahasa Sunda dan acap kali disebut urang Sunda yang tidak etis dan tidak bertatakrama.
Pekampungan Sunda?
Berbeda dengan urang Sunda di perkampungan, sebagai penduduk terbesar di tatar Sunda, mereka banyak menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi. Tak percaya? Coba saja sesekali main atau penelitian ke daerah Pameumpeuk, Bungbulang, Cikajang, Banyuresmi (Garut); Panjalu, Kawali, Cibeureum (Ciamis), Kampung Naga, Ciawi (Tasikmalaya), daerah-daerah pedesaan di Sumedang, Bandung, Bogor, Banten, dan masih banyak lagi daerah di mana warganya masih menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi. Warga masyarakat Sunda di daerah-daerah tersebut masih menggunakan bahasa Sunda, bahkan orang yang berasal dari luar etnik Sunda, ketika berdiam diri di perkampungan Sunda akan fasih bertutur-kata bahasa Sunda.
Hal itu wajar terjadi. Untuk konteks saat ini, meskipun ada (sebagian) generasi muda Ki Sunda yang bertutur-kata menggunakan bahasa “comotan” ketika berkomunikasi dengan temannya, harus kita hargai. Bukan malah dicaci-maki atau dicap dengan embel-embel tidak ada keinginan melestarikan budaya Sunda. Sebab, Sunda sebagai satu kebudayaan akan terus berdialektika dengan realitas sosial hingga menghasilkan kekayaan bahasa. Saya – ketika belajar selama 7 tahun di pesantren – sering menggunakan kata ganti “ente” untuk menyebut fartner bicara sambil sesekali menggunakan bahasa Sunda.
Praktik berbahasa di atas merupakan wujud dari penghargaan terhadap budaya lain karena urang Sunda menempatkan sesama manusia pada posisi yang sejajar, egaliter, dan equal atau sederajat. Di hadapan urang Sunda mereka adalah manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan dirinya sebagai seorang makhluk. Namun, setelah ada pengaruh dari luar Sunda (terutama Jawa dan Arab), bahasa Sunda mengenal kabengharan kecap, tata aturan normatif berbahasa atau undak-usuk, dan tercerabutnya bahasa Sunda dari akar egalitarianisme dalam relasi sosial-komunikasi.
Etnik Sunda sejak abad 1-2 Masehi, abad 3-4 Masehi, abad 5-7 Masehi, abad 8-16 Masehi, sampai pada abad 17-21 Masehi tentunya akan menampakkan perkembangan yang sangat mengagumkan dalam hal kebudayaan, terutama bahasanya. Kalau begitu, tidak menutupkemungkinan jika generasi muda saat ini banyak ngareumbeuy, meminggirkan, dan kukuh menggunakan bahasa Sunda, itu semua dalam rangka menempatkan Sunda sebagai kebudayaan yang tidak tertutup. Mugiya wae bener (leres) hipotesis ieu teh!