Salah satu bentuk kepedulian perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat kita lihat dari konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Terlepas dari kepentingan bisnis dan promosi, yang jelas cetusan luhung ini dapat meringankan beban penderitaan warga miskin di desa maupun kota. Realisasi tanggung jawab sosial perusahaan ini dapat kita rasakan dari sumbangan dana bagi pemberdayaan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi warga.
Misalnya, memberikan beasiswa kepada pelajar atau mahasiswa, membantu membangun pasilitas pelayanan publik, dan bekerjasama dengan masyarakat dalam menumbuh-kembangkan sektor perekonomian. Program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) ini dicetuskan pihak terkait, semestinya, untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di sekitar masyarakat.
Ketika program luhung ini digulirkan, pihak perusahaan tidak semestinya berorientasi murni bisnis. Harus memprioritaskan kepentingan masyarakat sehingga proses pemberdayaan tidak hanya terasa sesaat. Bahkan, teramat jahat rasanya jika tanggung jawab sosial perusahaan banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompok. Selain itu, program ini juga tidak arif rasanya jika nihil dari upaya pemberdayaan yang memandirikan warga. Tanpa ada usaha ini, posisi masyarakat bagai seorang manusia yang terus-menerus diberikan ikan tetapi alat pancingnya tidak. Setelah ikan tersebut habis, maka mereka akan kembali meminta kepada orang yang memberikan. Tetapi, jika telah diberikan alat pancing, mereka hanya tinggal mencari ikan tersebut tanpa bantuan orang lain.
Mengapa harus demikian? Sebab, kelemahan mental bangsa – meski tidak keseluruhan – acap kali mengharapkan datangnya bantuan dari orang lain. Ini dapat dilihat dari jumlah warga miskin yang berebutan jatah bantuan tunai langsung (BLT) terus merangkak naik. Tetapi di tempat lain, kita juga mesti “mengacungkan jempol” terhadap semangat para pekerja yang banting tulang mencari uang meskipun jauh dari standar kesejahteraan.
Peduli masyarakat
Andai saja tidak ada upaya penanggulangan dari berbagai pihak, saya pikir semangat hidup warga akan meredup sehingga keterpecahan relasi sosial akan menggejala. Dengan bertebarannya warga miskin juga akan mengakibatkan daya beli melemah. Alhasil, dengan kondisi ini akan mengurangi pemasukan (income) untuk pihak perusahaan. Maka, terwujudnya perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat adalah peletakan batu pertama bagi menguatnya daya beli masyarakat.
Untuk itu, arif rasanya jika perusahaan memupuk sejak dini rasa berkepedulian terhadap masyarakat yang jarang tersentuh program pemberdayaan dari pemerintah. Sebab, keberadaan korporasi tidak melulu harus mengeruk kekayaan alam, melainkan harus juga berposisi sebagai “mitra sejajar” masyarakat. Dari sinilah, pola gerak perusahaan sangat perlu memasukkan program Corporate Social Responsibility sebagai bentuk dari kepedulian ketika melangsungkan praktik pengolahan alam sekitar. Menyisihkan beberapa persen saja dari keuntungan yang diperoleh untuk kemashlahatan masyarakat secara berkesinambungan.
Oleh sebab itu, langkah mulia dari perusahaan untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan kepada masyarakat mesti didukung berbagai pihak secara jujur. Tanpa ada penyelewengan-penyelewengan yang bersifat politis dan ideologis. Mulai dari pemerintahan, LSM, warga dan pihak perusahaan harus saling mengontrol agar arah gerak program Corporate Social Responsibilty tepat sasaran. Para pengusaha yang mengedepankan keuntungan kolektif – meminjam slogan salah satu iklan pelumas – sehingga kita untung, bangsa juga untung, merupakan bentuk ideal dari mitra negara dan bangsa.
Para pengusaha juga seyogyanya terenyuh rasa untuk memberikan bantuan, umpamanya, ketika masyarakat yang berhak mengembangkan diri, memenuhi kebutuhan hidup, berpendidikan dan memeroleh manfaat keilmuan (Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945) tidak nyata terjadi. Caranya juga bisa beragam bentuk, yang terpenting program Corporate Social Responsibility (yang dijabarkan oleh perusahaan) tidak hanya terasa sesaat oleh masyarakat.
Misalnya, memberikan bantuan modal kerja lunak bagi para petani, nelayan, pengusaha kecil, dan orang yang kesulitan modal untuk membiayai usahanya. Atau, yang lebih penting dan mendesak diimplementasikan saat ini adalah memelihara kondisi alam agar tetap dalam kondisi yang seimbang sehingga terasa secara berkelanjutan. Pada posisi demikian, perusahaan telah ikut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) masyarakat dari segi ekonomis dan ekologis.
Kepentingan bersama
Kita tahu bahwa fungsi ideal perusahaan adalah sebagai mediator untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi warga yang berada di sekitar perusahaan secara berkelanjutan. Persoalan kemiskinan, umpamanya, harus dapat dientaskan sehingga kondisi masyarakat sedikit demi sedikit beringsut ke arah kesejahteraan. Maka, daya beli masyarakat juga akan meningkat dan menguntungkan pihak perusahaan, kalau orientasinya bisnis.
Sebuah perusahaan jangan pernah mengidap penyakit amputasi sosial, yakni kelumpuhan rasa untuk menolong ketika menyaksikan warga miskin disekitarnya. Sebab, hal ini dapat mengundang bertebarannya konflik horizontal sehingga perusahaan akan merasa dirugikan oleh sikap dan perilaku merusak warga. Hal ini bisa dilihat, misalnya, pada masyarakat Papua yang menuntut perusahaan Freefort secara anarkis dan chaos karena telah sedemikian gerah dengan eksploitasi perusahaan terhadap potensi alam daerah, sementara itu kesejahteraan warga tidak beringsut ke arah lebih baik.
Demi terjaganya keberlanjutan lingkungan sekitar sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh generasi masa depan, pihak perusahaan harus mengelola alam secara bijaksana. Jangan terjadi perusakan-perusakan alam yang membabi buta – meminjam bahasa Franz Magnis-Suseno – jangan lantas berprinsip “apres nous le deluge, biarlah air bah menerjang asalkan sesudah kami” atau jangan pula bersikap “rampas yang perlu, buanglah yang tak perlu lagi”.
Jika saja paradigma kapitalistik dianut setiap perusahaan, tentunya akan menciptakan generasi berjiwa laiknya tikus-tikus “Lemming” yang setahun sekali bergerombol ratusan ribu jumlahnya untuk terjun ke jurang (bunuh diri). Sebab, ketika logika kapitalistik mendeterminasi setiap perusahaan atau para pengusaha, tentunya akan mengkibatkan ketersediaan potensi alam terkuras habis, sehingga secara psikologis masyarakat akan banyak mengidap ketidaktentraman memandang masa depan.
Tidaklah heran jika dalam gagasan Corporate Social Responsibility terkandung nilai kebersamaan yang dapat mempererat ikatan emosional antara perusahaan dengan masyarakat. Itulah keuntungan yang akan diperoleh perusahaan yang peduli terhadap persoalan masyarakat seperti yang tercermin pada program pengentasan kemiskinan dari konsep CSR. Sehingga perusahaan bakal lekat di hati dan membekas di kedalaman rasa masyarakat. Eksistensi perusahaan semacam inilah yang bisa menjembatani “jurang perpecahan” di antara perusahaan dan warga sekitar.